Senin 17 Feb 2025 20:11 WIB

Soal Fenomena Tagar #KaburAjaDulu, Dosen SBM ITB: Cerminan Kondisi Ekonomi Sosial Memburuk

Kebijakan pemerintah dinilai tidak cukup menciptakan lapangan kerja

Pertumbuhan Ekonomi (Ilustrasi)
Foto: Dok Republika
Pertumbuhan Ekonomi (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Viral di media sosial Tagar #KaburAjaDulu, yang dicetuskan sebagai bentuk frustrasi anak muda terhadap kondisi ekonomi, sulitnya lapangan kerja, mahalnya pendidikan, serta rendahnya gaji. Banyak yang melihat bekerja di luar negeri sebagai alternatif untuk kehidupan yang lebih baik.

Menanggapi fenomena ini, Dr Muhammad Yorga Permana Ketua Dewan Pembina Indonesia Juara Foundation sekaligus Dosen Peneliti Tenaga Kerja di Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB), menilai ini bukan sekadar tren sesaat. Tetapi, cerminan dari kondisi ekonomi dan sosial yang terus memburuk bagi generasi muda.

Baca Juga

Yorga mengidentifikasi tiga faktor utama yang mendorong anak muda mencari peluang di luar negeri. Pertama, kebijakan pemerintah dinilai tidak cukup menciptakan lapangan kerja. Kemarahan anak muda telah terakumulasi sejak era COVID-19, terutama karena kebijakan yang dirasa tidak pernah berpihak kepada mereka.

Kedua, kata dia, meningkatnya kesempatan kerja di luar negeri. “Fenomena ini bukan hal baru, tetapi kini menjadi gunung es yang meledak akibat kombinasi angka pengangguran yang tinggi dan akses informasi yang lebih terbuka tentang peluang kerja serta beasiswa luar negeri,” katanya.

Ketiga, kata dia, kesiapan anak muda dalam menghadapi dunia kerja menjadi faktor krusial. Persiapan yang matang diperlukan agar mereka lebih siap dan tangguh dalam menghadapi tantangan di dunia kerja. Artinya rasa frustasi akibat persiapan yang belum cukup di masa transisi sekolah ke dunia kerja turut menjadi pendorong kemarahan mereka terhadap ketidakpastian iklim dunia kerja.

Saat ini, kata Yorga, kondisi pasar kerja Indonesia menghadapi tantangan serius. Pekerjaan layak di Indonesia sangat terbatas. Angka pengangguran resmi mencapai 7,2 juta orang, tetapi ada yang disebut hidden unemployment yang jumlahnya diperkirakan mencapai 12–15 juta orang. "Selain itu, hanya 40% dari pekerjaan yang masuk kategori sektor formal, sementara 60% lainnya merupakan pekerjaan informal. Jika bicara sektor formal, sebenarnya hanya 24% dari mereka yang benar-benar memiliki kontrak kerja formal,” papar Yorga, Senin (17/2/2025).

Situasi ini, kata dia, semakin diperburuk dengan gelombang PHK. Data resmi pemerintah menunjukkan bahwa lebih dari 80.000 orang telah kehilangan pekerjaan di tahun 2024, dan kemungkinan jumlahnya lebih besar.

Jika rasa frustrasi ini dikaitkan dengan realitas ekonomi dan politik, kata dia, dampaknya bisa sangat luas. Ketika seseorang tidak memiliki pekerjaan, maka mereka tidak memiliki pendapatan. Hal ini menyebabkan melemahnya kelas menengah, yang seharusnya menjadi penopang demokrasi. Tanpa adanya kelas menengah yang kuat, daya dukung terhadap demokrasi akan lemah. Sehingga, memperumit kondisi politik, serta mempersempit ruang untuk menyuarakan kritik.

Sementara itu, berbagai program pemerintah yang sering dipromosikan di media sosial belum cukup meyakinkan anak muda. Banyak yang merasa bahwa program-program tersebut lebih bersifat simbolis tanpa dampak nyata. “Saya senang anak muda kritis, karena itu bentuk kontrol sosial. Tetapi mereka butuh kebijakan yang benar-benar bisa dirasakan dampaknya, bukan sekadar gimmick,” katanya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement