REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) resmi menunda implementasi kebijakan short selling. OJK kini juga tengah mengkaji opsi buyback saham tanpa persetujuan RUPS. Kebijakan buyback atau pembelian kembali saham tanpa persetujuan RUPS, sebelumnya pernah diterapkan OJK pada saat pandemi Covid-19.
"OJK akan mengambil kebijakan awal untuk pertama adalah menunda implementasi kegiatan short selling. Selain hal tersebut, terdapat opsi kebijakan lain yang jika diperlukan yaitu mengkaji buyback saham tanpa RUPS dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang terjadi nantinya," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJk Inarno Djajadi dalam Konferensi Pers di Gedung Bursa Efek Indonesia, Senin (3/3/2025) sore.
Inarno menegaskan, kebijakan ini fokus pada stabilitas pasar, likuiditas, dan perlindungan investor. OJK, lanjut Inarno, akan terus hadir mengamati dan juga berperan aktif dalam menjaga pasar modal Indonesia tetap stabil, transparan, dan juga berintegritas khususnya bagi investor lokal, retail, maupun institusional.
Ia juga berpesan untuk bersama-sama membangun pasar modal yang lebih solid, lebih tangguh, dan lebih berdaya saing untuk Indonesia yang lebih maju. Selain itu, OJK juga telah mendengarkan banyak masukan konstruktif dari pelaku pasar dan stakeholder dan akan menindaklanjutinya sesuai kapasitas dan peran masing-masing.
"Dari sisi regulator kami menangkap concern para stakeholders pasar modal terkait tekanan yang terjadi pada indeks harga saham gabungan belakangan ini," jelasnya.
Sebelumnya, Direktur Pengembangan BEI Jeffrey Hendrik mengatakan, Bursa akan melakukan pertemuan dengan para pelaku pasar, untuk kemudian membuat keputusan atas opsi tersebut. Pertemuan tersebut rencananya akan dilakukan pada Senin (3/3/2025). Nantinya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga akan dilibatkan dalam diskusi tersebut.
“Terkait bagaimana kita melihat kondisi pasar saat ini, tentunya nanti akan ada pertemuan antara kami dengan para pelaku. Tentunya di situ baru kita bisa memutuskan dengan lebih tepat,” ujar Jeffrey kepada wartawan di Gedung BEI, Jakarta, Jumat (28/2/2025).
Menurut penuturan Jeffrey, memang perlu ada tindakan tertentu dalam menanggapi kondisi pasar yang terjadi saat ini, terutama jika ada kesimpulan bahwa kondisinya tidaklah reguler (irregularity).
“Kalau kita melihat pada kondisi sebelumnya, apabila kita menilai kondisi pasar ini memang dalam kondisi tidak reguler, ada irregularity di situ, akan ada tindakan-tindakan yang bisa kita ambil,” tutur Jeffrey.
Hal itu berkaca dari kondisi saat pandemi Covid-19, yang mana melihat kondisi pasar pada saat itu, akhirnya diputuskan tidak boleh melakukan short selling.
“Jadi kalau nanti dalam diskusi yang mudah-mudahan bisa kita lakukan dalam waktu dekat dengan para pelaku, dan dalam pertemuan itu disepakati memang kondisi pasar saat ini juga termasuk kondisi ada irregularaties, maka sangat mungkin layanan short selling akan kita tunda,” tegasnya.
Diketahui sebelumnya, BEI menyampaikan akan meluncurkan short selling dan intraday short selling pada kuartal II 2025.
Rencana peluncuran tersebut bertujuan memberikan kesepamatan bagi investor untuk mengoptimalkan profitabilitasnya di tengah gejolak pasar yang sangat dinamis. Layanan itu juga diharapkan bisa menambah likuiditas bagi pasar modal Indonesia, sehingga investor lebih lincah dalam melakukan pembelian dan penjualan.