Senin 02 Jun 2025 09:43 WIB

Hadiri Seminar Internasional, Ketum PBNU: Bisa Jadi Ketika Waktu Berhaji Tiba, Si Jamaah Sudah Wafat

Ketum PBNU sampaikan empat usulan penting pada Seminar Akbar Haji 2025.

Ilustrasi pelaksanaan haji.
Foto: ANTARA FOTO/Andika Wahyu
Ilustrasi pelaksanaan haji.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menyampaikan empat usulan penting dalam Seminar Akbar Haji Tahun 2025 yang digelar Kementerian Haji dan Umrah Kerajaan Arab Saudi pada Minggu.

Menurut keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu, Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menyampaikan usulan tersebut ketika menjadi satu-satunya perwakilan Indonesia dan Asia Tenggara berbicara dalam seminar bertemakan "al-Isthitha'ah fi al-Hajj wa al-Mustajaddat al-Mu'ashirah" atau "Kondisi Berkemampuan dalam Haji dan Problematika Kontemporer" di Jeddah, Arab Saudi.

Baca Juga

"Mereka (jamaah haji) memperoleh nomor antrean dan harus menunggu selama bertahun-tahun, bahkan bisa mencapai 20 hingga 40 tahun, karena jumlah pendaftar haji telah melampaui 5,5 juta orang pada 2025," tuturnya.

Hal itu dia sampaikan ketika membahas isu istitha’ah atau kemampuan dalam pelaksanaan haji, terutama dalam konteks sistem kuota yang berlaku sejak 1987. Sejak periode itu, negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, seperti Indonesia, harus menerapkan sistem daftar tunggu atau antrean.

Dari gambaran dan kondisi tersebut, Gus Yahya kemudian mempertanyakan kembali definisi istitha’ah dalam konteks era sekarang. Dia menilai istitha’ah harus dilihat dari berbagai aspek, seperti kemampuan finansial secara utuh, kondisi kesehatan dan fisik, serta aspek keamanan.

Menurut dia, mampu membayar biaya pendaftaran awal belum tentu tergolong mampu secara syar’i untuk melaksanakan ibadah haji.

"Mampu membayar biaya pendaftaran awal belum tentu tergolong mampu secara syar’i untuk berhaji. Biaya haji sesungguhnya terus meningkat setiap tahun, dan masa tunggu yang panjang dapat melemahkan kondisi fisik jamaah. Bisa jadi ketika giliran haji tiba, orang tersebut telah lanjut usia atau bahkan wafat," ujarnya.

Terkait hal itu, dia kemudian memaparkan empat usulan yaitu, pertama, Fatwa dan Edukasi Istitha’ah dari Ulama. Menurut dia, umat Islam membutuhkan fatwa dan bimbingan yang jelas dari para ulama dan fuqaha terkait waktu kapan seseorang dianggap wajib haji secara syar’i, agar memiliki ketenangan dalam menjalankan kewajiban ini.

Menurut mazhab Syafi’i, istitha’ah ditetapkan pada saat seseorang benar-benar akan berangkat haji, bukan saat pendaftaran.

Kedua, sosialisasi kewajiban haji sekali seumur hidup. Dia menilai, umat perlu diingatkan bahwa haji hanya wajib sekali seumur hidup bagi yang telah memenuhi syarat, agar memberi kesempatan kepada yang belum berhaji.

 

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement