Rabu 16 Jul 2025 19:49 WIB

Begini Respons Resmi Istana tentang Hari Kebudayaan yang Bertepatan dengan Hari Lahir Prabowo

Penetapan 17 Oktober disebut mengacu pada momen penting dalam sejarah bangsa.

Rep: Muhammad Noor Alfian Choir/ Red: Mas Alamil Huda
Kepala PCO Hasan Nasbi di kantornya Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (8/7/2025).
Foto: Antara/Mentari Dwi Gayati
Kepala PCO Hasan Nasbi di kantornya Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (8/7/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah menegaskan bahwa penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional didasarkan pada kajian historis dan tidak berkaitan dengan tanggal lahir Presiden Prabowo Subianto. Kepala Biro Komunikasi dan PCO Istana, Hasan Nasbi, mengatakan, keputusan ini muncul dari masukan para budayawan dan pekerja seni.

“Ini merupakan masukan dari para budayawan, para pekerja seni tradisi, yang merasa penting untuk ditetapkan sebuah tanggal sebagai Hari Kebudayaan. Supaya tidak hanya sekadar diingat, tapi juga mendapatkan tempat dalam keberlanjutan pembangunan bangsa kita,” kata Hasan saat jumpa pers, Rabu (16/7/2025).

Baca Juga

Hasan menegaskan bahwa pemerintah tidak menggunakan pendekatan “otak-atik gatuk” atau cocoklogi dalam menetapkan tanggal peringatan nasional.

“Pemerintah kita tidak menganut sistem otak-atik gatuk. Pikiran cocoklogi. Jadi ketika sebuah tanggal ditetapkan oleh kementerian, itu ada dasarnya. Apakah itu dasar hukum, dasar peristiwa, atau dasar sejarah,” tegasnya.

Menurut dia, penetapan 17 Oktober mengacu pada momen penting dalam sejarah bangsa, yakni keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang menetapkan burung Garuda sebagai lambang negara dan menyertakan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai bagian tak terpisahkan dari lambang tersebut.

“Puncak pengakuan terhadap keberagaman kita sebagai bangsa yang plural, itu adalah saat dimasukkannya semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai bagian dari lambang negara. Itu adalah bentuk pengakuan resmi negara terhadap keragaman budaya kita,” kata Hasan.

Ia menambahkan, sebenarnya ada enam hingga tujuh tanggal alternatif lain yang diusulkan sebagai Hari Kebudayaan, termasuk 2 Mei (Hari Pendidikan Nasional) dan 20 Mei (Hari Kebangkitan Nasional). Namun karena tanggal-tanggal tersebut sudah memiliki peringatan masing-masing, maka 17 Oktober dipilih karena memiliki dasar sejarah kuat dan belum digunakan untuk peringatan nasional lainnya.

Hasan pun meminta publik tidak terjebak pada tafsir spekulatif yang mengaitkan penetapan tanggal ini dengan ulang tahun Presiden.

“Jadi kita tidak menganut otak-atik gathuk atau cocoklogi. Kalau kebetulan, nggak apa-apa. Ini kan soal kebetulan. Kebetulan-kebetulan itu banyak. 21 Juni, Bung Karno wafat. 21 Juni, Presiden ke-7 Indonesia (Jokowi) lahir. Kalau cocoklogi bisa panjang. Tapi kita tidak menganut cocoklogi. Orang yang memperingati itu sebagai hari wafatnya Presiden, boleh. Orang yang memperingati hari itu sebagai hari lahirnya Presiden, juga boleh,” jelasnya.

Okeh sebab itu, ia menyimpulkan, sah-sah saja jika 17 Oktober diperingati sebagai Hari Kebudayaan maupun sebagai hari lahir tokoh tertentu. Namun yang terpenting, menurut Hasan, adalah meninggalkan cara berpikir cocoklogi dan otak-atik gatuk.

“Orang yang memperingati 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan boleh. Orang yang memperingatinya sebagai hari lahir seseorang juga boleh. Tapi kita mulai belajar lah menghindar dari cocoklogi dan otak-atik gatuk," katanya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement