REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Program ‘Satu Kampung Satu Bidan’ resmi diluncurkan oleh Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, di Balai Kota Yogyakarta, Jumat (3/10/2025). Ia menegaskan program ini adalah bukti nyata janji kampanye yang kini diwujudkan, dan menempatkan bidan sebagai ujung tombak dalam mengawal kesehatan masyarakat mulai dari lahir hingga lanjut usia.
“Pasangan suami istri itu kan melahirkan generasi namanya bayi. Sebenarnya mereka inilah yang harus mengawal kualitas manusia yang akan dilahirkan. Makanya itu yang urgent, itu yang pertama. Kemudian keluarannya kan kemudian tidak stunting,” tegasnya.
Hasto menyebut para bidan akan diberi tugas mendampingi masyarakat dengan cakupan yang tidak terlalu besar, hanya sekitar 373 warga per bidan. Karena jumlahnya tidak banyak, ia meminta pengawalan dilakukan serius, mulai dari kesehatan ibu hamil, balita, hingga warga yang rentan terhadap penyakit menular maupun tidak menular.
“TBC wajib Anda kawal, kawal minum obatnya. HIV jumlahnya tidak banyak, jadi wajib dikawal juga. Penyakit tidak menular juga harus diawasi, terutama lansia dengan hipertensi, diabetes, maupun gangguan kesehatan jiwa (ODGJ). Semua harus terdata dengan jelas,” tuturnya.
Selain itu, Ia juga mengatakan pentingnya ketepatan data sebagai dasar kebijakan kesehatan. Menurutnya, tanpa data yang jelas, kerja lapangan menjadi sia-sia.
“Kalau kita nggak tahu penyakit yang menular itu di mana ya nggak guna ini semua. Jadi biasanya ada kolom normal dan tidak normal, harus ditambah satu kolom lagi supaya lebih mudah di-filter. Searching datanya juga harus lancar, supaya mempermudah,” ujarnya.
Dari 45 bidan, ada 34 orang yang hadir dalam forum tersebut untuk menerima arahan. Hasto menjelaskan bahwa mereka sudah mulai bekerja per Oktober ini, bersamaan dengan cairnya gaji dari pemerintah kota. Ia menegaskan tidak ada alasan untuk menunda. “Hari ini tanggal 3, kalau tidak kerja ya gimana, orang sudah dibayar. Itu lho uang rakyat,” ucapnya.
Evaluasi akan dilakukan sebulan ke depan. Hasto menekankan indikatornya harus konkret, bukan sekadar laporan normatif. Bidan wajib bisa menunjukkan data spesifik, mulai dari daftar ibu hamil, anak risiko stunting, hingga lansia dengan hipertensi atau diabetes. Semua data harus sudah tercatat di perangkat masing-masing.
“Sederhana saja, nanti sebulan lagi di laptop atau HP harus sudah ada data lansia, hipertensi, diabetes, dan sebagainya. Kalau saya tanya siapa yang hipertensi, bisa keluar list nama dan alamatnya. Yang stunting siapa saja, di mana rumahnya. Itu indikator konkrit, bukan sekadar catatan baik-baik saja,” jelasnya.
Lebih lanjut, menjelang Hari Jadi Kota Yogyakarta ke-269 pada 7 Oktober, Hasto juga menekankan perubahan nyata di berbagai sisi kota. Salah satunya, Malioboro akan diuji coba menjadi zona pedestrian penuh, sekaligus menata pengamen yang selama ini menjadi sorotan publik dan wisatawan.
“Pengamen di Malioboro keren, dan tidak boleh minta-minta. Kalau ingin menerima sumbangan, itu sukarela, dan titiknya sudah saya tentukan,” jelasnya.
Selain itu, wali kota menekankan pengelolaan sosial bagi warga yang rentan, termasuk ODGJ, pemulung, dan penggerobak. Mereka tidak akan diusir, melainkan diberdayakan melalui program terpadu, misalnya Unit Pupuk Organik yang mengubah sampah organik menjadi pupuk untuk pertanian, sehingga memberi manfaat ekonomi bagi warga yang lemah secara sosial.
Hasto juga mendorong perubahan estetika kota. Wilayah kumuh akan dihiasi mural batik dengan pesan moral, melibatkan 50 kelompok anak sekolah sebagai penanda HUT. Digitalisasi parkir juga menjadi prioritas, dengan target 100 titik parkir digital pada 7 Oktober dan 350 titik di akhir Desember, demi memudahkan warga dan wisatawan.
Dengan berbagai langkah ini, Wali Kota Hasto menegaskan bahwa Hari Jadi Kota Yogyakarta bukan sekadar perayaan, tetapi momentum untuk menghadirkan perubahan nyata dan berkelanjutan bagi seluruh warga.