REPUBLIKA.CO.ID, SUMEDANG -- Generasi emas 2045, akankah menjadi sebuah kenyataan atau hanya menjadi utopia semata? Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Sumedang bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Sumedang menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk Membangun Generasi Emas 2045 yang Berkarakter dan Melek IT dan Pelatihan Berpikir Suprarasional. Kegiatan seminar dan pelatihan nasional ini dihadirkan sebagai jalan pembuka untuk menanamkan wawasan dan pola pikir dalam perjuangan membangun Generasi Emas 2045 yang berkarakter kuat dan melek IT.
Dr Maulana M. Pd. selaku ketua pelaksana mengungkapkan bahwa tujuan dihelatnya acara ini untuk menyadarkan kembali semua kalangan, khususnya para akademisi dan praktisi pendidikan, tentang impian besar bangsa Indonesia untuk membangun generasi emas 2045. Waktu menjelang 2045 semakin mepet, bisa dihitung dengan jari. Jika bangsa ini masih berleha-leha, tak sadar atau bahkan lupa impiannya itu, mana mungkin generasi emas yang diidamkan akan terwujud.
Kegiatan seminar nasional diselenggarakan pada tanggal 20 – 21 Desember 2017 dengan menggunakan dua format acara, yaitu plenary session dan parallel session. Kegiatan plenary session diselenggarakan di Aula Tampomas IPP Kabupaten Sumedang pada tanggal 20 Desember 2017 dengan menghadirkan tiga pembicara utama, yaitu Prof D H Didi Suryadi, M. Ed (Pakar Didactical Design Research dan Sistem Komunitas Pendidik Berbasis Riset), Dr Cepi Riyana, M. Pd. (Pakar IT), dan Asep Sapa’at (Praktisi Pendidikan dan Litbang di Klinik Pendidikan MIPA).
Acara plenary session dihadiri 298 peserta yang terdiri dari 42 orang dosen, 60 orang guru, 20 orang mahasiswa pascasarjana, dan sisanya mahasiswa S1 atau para alumni UPI Kampus Sumedang. Sedangkan acara parallel session dihelat di Kampus UPI Sumedang dengan menghadirkan 68 pemakalah yang akan menyajikan hasil pemikiran atau hasil riset seputar pendidikan atau pembelajaran karakter, pendidikan atau pembelajaran berbasis IT, kemampuan berpikir tingkat tinggi, serta inovasi pembelajaran.
Buku cara berpikir suprarasional merupakan buah pemikiran dan refleksi perjalanan hidup dari sosok Raden Ridwan Hasan Saputra, Presiden Direktur Klinik Pendidikan MIPA yang juga Tokoh Perubahan Republika 2013. Ide dasar dari buku best seller ini disajikan dalam kemasan pelatihan suprarasional yang menggugah kesadaran para peserta pelatihan.
Saat ditanya kesan mengikuti pelatihan berpikir suprarasional, beberapa peserta mengaku sangat bersemangat untuk menatap tantangan masa depan. Wini Solihah, mahasiswa PGSD UPI Kampus Sumedang mengutarakan, setiap orang besar selalu punya cara sendiri untuk dekat dengan Tuhan-Nya. "Setiap rencana kita kadang tak selamanya sesuai harapan. Tetapi dalam kondisi itu, kita harus yakin bahwa itu jalan terbaik dari Allah Swt. Dengan cara berpikir suprarasional, saya menjadi sadar bahwa untuk meraih cita-cita besar, maka kita harus terus berusaha meningkatkan keimanan dan melakukan inovasi tiada henti," ujarnya.
Senada dengan hal tersebut, Yanti Permatasari (mahasiswa PGSD UPI Kampus Sumedang) juga mengungkapkan, bahwa ia meyakini kalau cara berpikir suprarasional bisa diterapkan dalam kehidupan. Ilmu yang menarik baginya mengenai berpikir suprarasional adalah mengenai konsepsi merencanakan kesusahan.
"Agar bisa mendapatkan rezeki tak disangka-sangka, kita harus merencanakan kesusahan dalam bentuk melakukan perbuatan baik kepada Allah Swt. juga kepada sesama makhluk. Saya sendiri ingin merencanakan kesusahan dalam bentuk mengajar di daerah pelosok. Saya ingin memberikan yang terbaik untuk pendidikan anak-anak di pelosok. Karena moto hidup saya, 'ngabakti kanu kawasa, ngabales jasa orangtua, ngabela nagara' (berbakti pada Allah Swt., membalas jasa orangtua, membela negara),” ujarnya.
Dalam analisisnya, Dr Maulana, M. Pd. mengatakan, banyak cara berpikir yang telah ditawarkan, dengan iming-iming memberikan solusi atas segala permasalahan duniawi yang berujung pada simpul hedonisme yang semakin menguat. Padahal, sepanjang-panjangnya urusan duniawi, takkan pernah melebihi panjangnya urusan ukhrowi. Seberat-beratnya masalah dunia, tak seberapa jika dibandingkan dengan beratnya masalah di akhirat nanti.
"Cara berpikir suprarasional menuntun kita mengubah paradigma kejarlah dunia, jangan lupa akhirat menjadi kesadaran untuk kejarlah akhirat, jangan lupakan dunia. Cara berpikir suprarasional, pada dasarnya dirasakan sebagai bentuk kontemplasi atau refleksi dari pribadi yang penuh syukur dan berbakat untuk bahagia,” ungkapnya seperti dalam siaran pers yang diterima, Jumat (22/12).