Senin 01 Dec 2014 16:04 WIB

Asuransi Syariah Hadapi Sejumlah Tantangan

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Asuransi syariah
Foto: Irianto PW/Republika
Asuransi syariah

REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI--Sementara negara-negara Teluk terus meningkatkan penetrasi asuransi syariah (takaful) dan Malaysia terus memimpin industri takaful global, operator takaful menghadapi masalah aturan yang tumpang tindih dan kurangnya tenaga.

Dalam laporan yang dirilis perusahaan konsultansi Deloitte, Ahad (30/11), industri takaful global sejak 2007 hingga 2012 tumbuh sekitar 18 persen per tahun dan mencapai nilai hingga 18,3 miliar dolar AS di semester pertama 2013.

Direktur studi keuangan Islam di Deloitte, Hatim El-Tahir, memprediksi industri takaful masih akan terus tumbuh dalam kisaran yang sama beberapa tahun mendatang sebab operator takaful tengah menghadapi tantangan yang cukup kuat.

''Industri takaful global sangat terfragmentasi yang menghambat pertumbuhan,'' kata El-Tahir seperti dikutip Xinhua, Ahad (30/11).

Malaysia yang sudah melakukan penetrasi dan 70 persen dari 30 juta populasinya merupakan Muslim, menjadi yang paling minim merasakan terpaan masalah. Tidak hanya oleh regulasi keuangan yang sedemikian canggih, tapi juga karena takaful di negara ASEAN bisa diterima oleh komunitas non Muslim, terutama oleh populasi keturunan Cina.

Malaysia memiliki 12 perusahaan takaful nasional dan enam perusahaan dari negara Teluk yang telah menjalankan aturan jaminan kesehatan dan asuransi. Tapi, permintaan asuransi jiwa syariah atau takaful keluarga, masih di bawah dua persen.

''Malaysia meraih 71 persen dari total industri takaful di Asia Tenggara,'' kata Deputi CEO FWU Group, operator takaful yang berbasis di Luksemburg, Sohail Jaffar.

Namun, negara tetangga Malaysia, Indonesia, yang total populasinya mencapai 254 juta jiwa dan menjadi negara dengan populasi Muslim terbesar, industri takafulnya kurang mendapat dukungan politik.

Di wilayah Teluk, Uni Emirat Arab dan Arab Saudi menjadi pemimpin industri takaful yang tak lain karena 80 persen pendapatan keduanya disumbang ekspor minyak bumi.

Namun begitu, operator takaful di kawasan Teluk secara legal tidak diizinkan mengembangkan produk di satu negara dan menjualnya di negara Teluk lain sebelum mendapat izin dari enam negara regulator yakni Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Qatar, UEA, dan Oman.

Kurangnya tenaga yang memiliki kualitifasi bagus, kurangnya kemampuan riset, dan rendahnya permintaan asuransi jiwa syariah, terutama di Timur Tengah, lah yang membuat pertumbuhan industri takaful melambat.

Kelebihan pasokan juga jadi masalah lain. Di Kuwait, ada 30 operator takaful yang berarti banyak di antara mereka yang tidak mendapat keuntungan yang cukup. Alasannya sederhana, karena pasarnya terlalu kecil.

Berdasarkan data Ernst and Young, industri takaful global diperkirakan akan mencapai nilai 20 miliar dolar AS pada 2017. Angka ini masih kecil dibanding potensinya yang mencapai dua triliun dolar AS di segmen keuangan syariah secara global.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement