Sabtu 28 Mar 2020 03:03 WIB

Hukum Menghias Kuku bagi Wanita

Hakikat wanita adalah menyukai hal-hal yang indah.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
Hukum Menghias Kuku bagi Wanita. Foto: Menghias kuku (Ilustrasi)
Hukum Menghias Kuku bagi Wanita. Foto: Menghias kuku (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjadi hakikat seorang wanita untuk menyukai hal-hal yang indah dan cantik. Muslimah senang berhias dan memanjakan diri dengan hal-hal yang membuatnya semakin terlihat cantik. Salah satu yang biasa dilakukan muslimah adalah menghias kuku.

Sejak zaman dahulu, menghias kuku sudah dilakukan oleh wanita. Zaman dulu, wanita menghias kuku menggunakan bahan alami yang dikenal dengan nama inai atau daun pacar kuku. Namun seiring berjalannya waktu, banyak industri membuat cat kuku atau kuteks. Bahkan muncul seni menghias kuku yang dikenal dengan nail art, yakni mengecat kuku dengan berbagai desain dan warna agar kuku tampak lebih indah.

Baca Juga

Penggunaan cat kuku ini memiliki syarat. Jika pewarna kuku terbuat dari bahan yang bisa menghalangi sampainya air ke kuku, maka wudhu atau mandi besar yang dilakukan menjadi tidak sah. Syarat sah wudhu jika tidak ada penghalang sampainya air ke anggota tubuh yang wajib di basuh.

Dalam suart Al Maidah ayat 6 disebutkan, "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki." Ayat ini berkenaan dengan wudhu yang disyaratkan pada seseorang jika akan menjalankan shalat.

Sifat cat kuku yang menggunakan bahan kimia biasanya menghalangi jalannya air saat bersuci. Umumnya pewarna kuku menggunakan bahan yang dapat membentuk lapisan kedap air. Maka dengan begitu, hukumnya cat kuku tak boleh dipergunakan saat hendak shalat atau berwudhu. Segala sesuatu yang menghalangi jalannya air pada bagian tubuh yang harus disucikan tidak diperkenankan digunakan.

Dalam HR Muslim disebutkan, Ada seseorang yang berwudhu lalu dia membiarkan satu kuku di jari kakinya tidak terkena air. Rasulullah SAW memperhatikannya dan menyuruhnya, "Kembali, ulangi wudhumu dengan baik." Orang inipun mengulangi wudhunya, lalu dia shalat.

Penggunaan cat kuku maupun nail art semata ingin mempercantik diri dan bukan merupakan karateristik atau perbuatan-perbuatan yang dikhususkan dilakukan oleh wanita-wanita kafir. Maka hukum menggunakannya boleh-boleh saja bagi wanita muslimah. Asalkan hal ini dengan syarat tambahan yakni dilakukan saat wanita muslimah sedang haid atau nifas. Jika tidak dalam keadaan semacam itu, maka ia harus komitmen saat akan shalat harus menghapus cat kuku tersebut, agar wudhunya sah.

Dibandingkan cat kuku, inai lebih diperbolehkan digunakan wanita muslimah kapanpun dan dimanapun. Hal ini karena sifat inai yang memberikan pewarnaan secara alami dan tidak mengubah ketebalan kuku seperti kuteks. Rasulullah SAW menganjurkan kepada para istri untuk menggunakan pewarna pada tangannya dan juga kuku dengan inai. Sehingga warna tangannya berbeda dengan tangan laki-laki.

Imam Abu Dawud dan Imam Nasa'i melanjutkan hadist yang berasal dari Aisyah ra. Ada seorang wanita menjulurkan tangannya dibalik tabir, menyerahkan sebuah surat kepada Nabi. Lalu Rasulullah SAW menahan tangan beliau sendiri (tidak mengambil suratnya). Hingga wanita itu bertanya, "Ya Rasulullah, aku ulurkan tanganku untuk menyerahkan surat, mengapa anda tidak mengambilnya." Nabi berkata, "Aku tidak tahu apakah ini tangan seorang wanita atau tangan lelaki?" Wanita itu pun berkata, "Ini tangan wanita." Nabi bersabda, "Jika engkau benar seorang wanita, tentu engkau akan memberi pewarna pada tanganmu (dengan inai)."

Penggunaan cat kuku atau inai, termasuk perhiasan yang bisa menarik perhatian lawan jenis. Karena itu, wanita muslimah yang memakai pewarna kuku, hendaknya menutupinya dan tidak ditampakkan pada lelaki yang bukan mahram. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah berkata, "Tidak apa-apa berhias dengan memakai inai, lebih-lebih lagi apabila si wanita telah bersuami berhias untuk suaminya. Adapun wanita yang masih gadis, pendapat yang benar bahwa hal ini mubah (dibolehkan) baginya. Hanya saja, dia tidak boleh menampakkannya kepada lelaki yang bukan mahramnya karena hal itu termasuk perhiasan."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement