Ahad 13 Mar 2022 20:56 WIB

Jimly: Pemimpin Tiga Periode Terjadi di Negara Demokrasi tak Bermutu

Jimly sebut pemimpin dengan tiga periode terjadi di negara dengan demokrasi buruk.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Bilal Ramadhan
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie sebut pemimpin dengan tiga periode terjadi di negara dengan demokrasi buruk.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie sebut pemimpin dengan tiga periode terjadi di negara dengan demokrasi buruk.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie melihat tren perpanjangan masa jabatan pemimpin negara terjadi mulai 1990-an. Namun, hal tersebut terjadi pada negara-negara yang notabenenya memiliki demokrasi yang lemah dan tak bermutu.

"Banyak negara yang memperpanjang masa jabatan menjadi tiga periode, di Afrika banyak itu, tapi banyak yang berhasil, banyak juga yang berdarah-darah, gagal. Tapi negara-negara yang menerapkan third termism tiga periode itu tergolong demokrasi yang tidak bermutu," ujar Jimly dalam sebuah diskusi daring, Ahad (13/3/2022).

Baca Juga

Hal ini juga terjadi kepada Rusia, ketika Vladimir Putin sudah memasuki periode keempatnya sebagai presiden. Dukungan terhadapnya sangat besar pada pemilihan presiden 2018, ketika ia bersaing dengan tujuh calon presiden.

Perpanjangan masa jabatan pemimpin negara juga terjadi di Cina dengan Presiden Xi Jinping. Bahkan, Jimly menilai apa yang terjadi di negara tirai bambu itu lebih eksplisit, karena adanya perubahan konstitusi yang dapat membuat Xi Jinping menjadi presiden seumur hidup.

Hal serupa juga pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1963 lewat lahirnya Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963. Di dalamnya mengatur bahwa Soekarno ditetapkan menjadi presiden seumur hidup oleh MPRS.

Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 kemudian dicabut dan digantikan dengan Tap MPRS Nomor XVIII/MPRS/1966. Keputusan tersebut diambil pada sidang umum keempat MPRS, tetapi penarikan ketetapan ini tidak memengaruhi masa jabatan Presiden Soekarno sampai ada keputusan lain dari MPR hasil pemilihan umum.

"Artinya, demokrasi tanpa pergantian kekuasaan itu penyakit lama dari budaya feodal, dari sistem politik yang belum kuat, dan Indonesia bisa saja terjerumus ulang, bisa saja. Maka kita kekuatan reformasi, demokrasi harus mencegah ini," ujar Jimly yang merupakan mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) itu.

Dalam forum diskusi yang sama, Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid mengeklaim adanya aspirasi masyarakat yang ingin penundaan Pemilu 2024. Aspirasi tersebut kemudian disampaikan oleh tiga ketua umum partai, termasuk Abdul Muhaimin Iskandar.

"Ini sudah muncul dari berbagai ketua umum partai politik dan itu cerminan dari rakyat. Kalau di MPR, anggota MPR itu adalah cerminan dari rakyat, kami DPD dan DPR RI dipilih oleh rakyat," ujar Jazilul.

Ia berkaca pada pandemi Covid-19 selama dua tahun yang berdampak kepada berbagai bidang yang merugikan masyarakat dan negara. Bukan tidak mungkin kejadian luar biasa seperti wabah dan perang akan kembali terjadi di masa depan, yang membuat pemilu harus ditunda.

"Makanya kami dari PKB mengatakan perlu rasanya diatur dalam konstitusi jika ada kejadian tertentu yang memungkinkinkan presiden, atau jabatan, atau pemilu dilakukan penundaan," ujar Jazilul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement