Kemenkes: Rp 3,5 Triliun Dana BPJS Kesehatan Habis untuk Pengobatan Pasien Kanker
Khusus kanker paru, menghabiskan Rp 75 miliar pada rentang 2020-2021.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Sub Direktorat (Tim Kerja) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. Theresia Sandra Diah Ratih mengatakan anggaran sebesar Rp 3,5 triliun dana BPJS Kesehatan dihabiskan untuk mengobati penyakit kanker pada 2020-2021. Sebanyak Rp 73 miliar dihabiskan untuk pasien kanker paru.
"Pada 2020-2021, Rp 3,5 triliun dihabiskan untuk kanker, dengan kanker paru yang mencapai Rp 73 miliar," katanya dalam acara yang berjudul "Kenali Konsensus Baru Nasional Skrining Kanker Paru" yang diikuti di Jakarta, Rabu (23/8/2023).
Theresia mengemukakan, salah satu penyebabnya adalah adanya sejumlah 70 juta masyarakat Indonesia yang mengonsumsi tembakau, dengan 68,9 juta di antaranya yang merupakan perokok aktif. Dia menyebutkan tembakau berpengaruh kepada tahun hidup yang disesuaikan dengan disabilitas atau disability-adjusted life years (DALYs) sebanyak 64,99 persen.
"Tembakau juga berpengaruh pada 66,52 persen kematian akibat kanker trakea, bronkus, dan paru," katanya.
Menurutnya, kanker paru yang diakibatkan oleh kebiasaan merokok yang lebih mudah ditemukan di Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya. Hal tersebut, kata dia, diakibatkan oleh tren usia perokok yang semakin memuda, yang juga mengakibatkan rataan usia penderita kanker paru di Indonesia lebih muda lima sampai sepuluh tahun dibandingkan di luar negeri.
Oleh karena itu, kata Theresia, Kemenkes mengimbau kepada masyarakat agar segera melakukan skrining kanker paru untuk meminimalisir kasus penyakit kanker paru yang umumnya baru terdeteksi pada stadium empat. Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin telah menganjurkan seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan deteksi dini atau skrining kesehatan secara berkala untuk pengendalian kasus di Indonesia.
“Kanker itu dapat dikendalikan, angka survival ratenya tinggi, tapi syaratnya harus deteksi dini. Sekitar 90 persen bisa dikendalikan, kalau ditemukan pada stadium lanjut maka 90 persen akan meninggal,” katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta (20/2/2023).
Di Indonesia, sebagian besar pasien yang memeriksakan diri saat kanker sudah dalam stadium lanjut. Akibatnya 90 persen kasus tidak mendapatkan penanganan yang optimal yang berakhir pada kematian, demikian kata Menkes.
Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Onkologi, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr. Sita Laksmi Andarini mengatakan Indonesia memiliki rata-rata usia pengidap kanker paru lima sampai sepuluh tahun lebih muda dibandingkan dengan luar negeri.
"Di luar negeri, data menunjukkan rataan usia 68 tahun, di Indonesia berada di angka 58 tahun," katanya dalam acara yang sama, Rabu.
Sita mengatakan angka tersebut merupakan angka rataan, bukan angka minimum. Sebab, dia mendapatkan sejumlah pasien kanker paru yang berada pada usia sekitar 40-an.
Dia menyebutkan berbagai faktor risiko, seperti faktor genetik, zat karsinogen, bahan bangunan berupa asbes, debu, serta polusi udara yang terdapat di sejumlah daerah perkotaan di Indonesia menjadi beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia berada pada angka tersebut.
Ia menyayangkan kondisi tersebut juga diperparah dengan kasus kanker paru yang umumnya ditemukan saat sudah berada pada stadium lanjut. "Di RSUP (Rumah Sakit Umum Pusat) Persahabatan Jakarta, 95 persen pasien yang datang untuk didiagnosis sudah mencapai stadium empat," ujarnya.
Oleh karena itu, Sita mengimbau kepada masyarakat agar melakukan skrining bila terpapar dengan faktor risiko penyebab kanker paru. Dengan melakukan skrining sejak dini, kata dia, dapat mengurangi risiko terjadinya kanker yang lebih parah, sehingga lebih mudah untuk ditangani dan disembuhkan.
"Kalau masih dini, angka harapan hidup jauh lebih besar. Juga pembiayaannya berbeda jika masih berada di stadium satu dan dua, dibandingkan jika sudah sampai stadium tiga dan empat," tutur Sita.