REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- PPDB SMA/SMK 2020 di DIY tahun ini menuai kontroversi lantaran dimasukkannya nilai rata-rata UN SD sebagai satu komponen oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY. Komponen itu dinilai banyak pihak merupakan indikator yang janggal.
Anggota Dewan Pendidikan Sleman, Nursya'bani Purnama mengatakan indikator itu tidak relevan karena siswa yang lulus SMP saat akan masuk SMA tidak bisa penilaiannya dikaitkan ketika siswa itu ujian SD.
Sebab, siswa itu sudah melewati proses yang lama selama berada di SMP. Lalu, kata dia, tidak menjamin pula seseorang yang ketika nilai UN SD-nya bagus maka nilai UN SMP-nya bagus, atau saat di SD kurang bagus lalu SMP juga kurang bagus.
"Tidak ada penghargaan bagi siswa yang memiliki usaha progresif. Artinya dengan formula seperti itu Disdikpora menganggap prestasi siswa ketika lulus SD dan ketika lulus SMP tidak mengalami perubahan," ujar Nur kepada Republika, Selasa (9/6).
Untuk itu, Nur tidak sepakat atas formula seperti itu. Ia menilai, itu jadi kebijakan yang tidak menghargai usaha seorang siswa yang mungkin tadinya di SD kurang bagus nilainya, lalu mengalami kemajuan yang bagus selama di SMP.
"Potensi kemajuan prestasi itu yang kemudian justru dieliminasi dengan mempertimbangkan nilai UN SD, itu yang menurut saya tidak adil. Menurut saya, kompetisi ketika masuk SMA dilihat prestasi selama SMP saja. SD sudah tutup buku," kata Nur.
Nur berpendapat, walau tidak ada UN karena pandemi, sebenarnya ada komponen lain yang bisa digunakan yaitu nilai try out. Terlebih, Disdikpora sudah melaksanakan beberapa kali try out UN selama SMP.
Artinya, kata Nur, hasil try out sangat bisa dijadikan alternatif pengganti tolak ukur pengganti nilai UN. Jadi, data-data try out yang sudah dimiliki Dinas Pendidikan tidak terbuang percuma dan malah bisa menjadi solusi.
"Meskipun UN tidak diselenggarakan, tapi ada rekam jejak, data base, hasil try out siswa, itu yang saya kira perlu dipertimbangkan karena nilai try out bisa menggambarkan seberapa jauh usaha yang sudah dilakukan siswa," ujar Nur.
Saat ini, Disdikpora DIY telah mengeluarkan petunjuk teknis (juknis) revisi yang berbeda dari yang dikeluarkan saat sosialisasi kepada orang tua murid beberapa bulan lalu. Begitu juga Peraturan Gubernur (Pergub) tentang PPDB SMA/SMK mengalami revisi pada beberapa poin.
Nur turut mengkritisi penyusunan juknis ini karena tidak melibatkan elemen terkait secara menyeluruh atau hanya melibatkan elemen tertentu. Termasuk, seharusnya Disdikpora DIY perlu pula mendapat masukan dari Dewan Pendidikan.
Sejauh ini, lanjut Nur, Dewan Pendidikan kabupaten/kota tidak pernah merasa dimintai masukannya untuk menyusun juknis tersebut. Walaupun, sudah di level Dinas Pendidikan kabupaten/kota, tapi untuk merumuskan PPDB SD dan SMP.
"Kebijakan ini boleh dikatakan kekuatannya cukup lemah, lebih-lebih dilihat dari dasar berpikirnya kenapa nilai UN SD bisa dimasukkan sebagai salah satu komponen masuk SMA," kata Nur.
Ia menyarankan, jika masih ada waktu perlu ada evaluasi terkait juknis ini. Terutama, untuk mencari indikator lain yang adil, salah satunya hasil try out yang selama ini masing-masing sekolah sudah menyelenggarakan.
"Jangan malah mencari indikator yang mengada-ada dan tidak relevan yaitu dengan mempertimbangkan nilai UN SD," ujar Nur.
Saat hendak dikonfirmasi mengenai hal ini, panggilan telepon Republika ke pihak Disdikpora ditolak. Sementara, Sekretaris Daerah (Sekda) DIY Kadarmanta Baskara Aji enggan berkomentar terkait hal ini. "Ke Dikpora mawon nggih (ke Dikpora saja ya)," kata Aji.