REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh: Ir Sabar Sitanggang, Pegiat Masyumi Reborn
Dua bulan terakhir, umat Islam di Indonesia kembali menemukan momentum kebersamaaannya. Setelah Fenomena Akbar 212, maka RUU HIP adalah ibarat kalimatun sawaa berikutnya. Dan di bulan Juli ini, satu peristiwa penting bagi umat Islam Indonesia pun akan kembali menjadi topik pembicaraan, Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Mengapa? Ini karena melalui Dekrit Presiden itulah Piagam Jakarta hidup kembali.
Persoalan Piagam Jakarta telah banyak ditelaah dan umumnya adalah seputar kedudukan Piagam Jakarta terhadap UD 1945, atau konsekuensi historis dan hukum yang menyertainya. Piagam Jakarta, istilah yang dilekatkan oleh Muhammad Yamin, atau Gentlemen’s Agreement dalam istilah Sukiman Wirjosandjojo, sejatinya adalah rancangan naskah Pembukaan UUD 1945, yang oleh Ir. Soekarno disebut sebagai Mukaddimah. (Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta, 2011, hlm. 24).
Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan mendasar, yakni: “Kepada siapakah dicari jawaban yang tepat tentang Dekrit 5 Juli 1959 dan kedudukan Piagam Djakarta?”
Berangkat dari catatan sejarah, untuk menemukan jawaban yang tepat tentang Dekrit Presiden itu dapat dilacak dari dua sisi, yakni sebelum didekritkan dan sesudah didekritkan. Yang pertama terkait usulan resmi yang diajukan oleh Perdana Menteri Djuanda kepada Parlemen dan jawaban tertulisnya atas pertanyaan anggota DPR saat itu, sementara yang kedua adalah keterangan Presiden Soekarno saat memeringati 4 tahun Dekrit Presiden.
Jawaban Perdana Menteri Djuanda
Dekrit Presiden tidaklah lahir ujug-ujug. Ada beberapa prakondisi yang bila ditelaah seksama dan logis, bukan saja akan melahirkan kepahaman, lebih jauh melahirkan kesadaran atas arti penting dari Piagam Djakarta yang dalam konsideran Dekrit itu disebutkan “menjiwai Undang-Undang Dasar 1945.”
Sehubungan dengan rencana Kabinet Djuanda yang disampaikan ke parlemen, untuk kembali ke UUD ‘45, pada tanggal 2 Maret 1959, dua orang anggota DPR masing-masing Anwar Harjono dari fraksi Masyumi dan Achmad Sjaichu dari fraksi NU, mengajukan pertanyaan tertulis kepada Pemerintah di sekitar kembali ke UUD ‘45 tersebut, dan dijawab secara tertulis pula oleh Pemerintah pada 25 Maret 1959.
Anwar Harjono mengajukan pertanyaan, “apakah jang dimaksud dalam Putusan Dewan Menteri Bab 1 No. 9 dengan: ... b. pengakuan Piagam Djakarta: (1) Piagam itu mempunjai kekuatan Undang-Undang Dasar, atau (2) Piagam itu sebagai dokumen historis hanja dipergunakan setjara insidentil atas dasar pertimbangan keamanan?”
Atas pertanyaan ini Perdana Menteri Djuanda dalam suratnya bernomor 9751/59, Perihal : Pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke Undang-undang Dasar 1945, menjawab bahwa, “dengan kembali ke UUD 1945 diharapkan agar kita dapat memulihkan potensi nasional kita, setidak-tidaknja memperkuatnja, djika dibandingkan dengan masa sesudah achir 1949.
Dalam pada itu untuk mendekati hasrat golongan-golongan Islam Pemerintah mengakui pula adanya Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, jang mendahului pembentukkan UUD 1945. Pengakuan itu djelas tidaklah insidentil. Dengan memulihkan –atau setidak-tidaknja memperkuat, potensi nasional kita itu Pemerintah jakin bahwa usaha-usaha penjelesaian keamanan dan pembangunan akan berjalan lebih lanjtar dimasa jang akan datang.
Walaupun Piagam Djakarta itu tidak merupakan bagian dari UUD 1945, diantaranja melihat tanggalnja 22 Djuni 1945, tetapi naskah itu sebagai dokumen historis besar artinja bagi perjuangan bangsa Indonesia dan bagi bahan penjusunan Pembukaan UUD 1945 jang mendjadi bagian dari pada Konstitusi Proklamasi.” (Kementerian Penerangan Ri: Kembali kepada Undang-Undang Dasar ’45, Jakarta, hlm. 73-78)
Sementara Achmad Sjaichu anggota fraksi NU mengajukan pertanyaan, “apakah pengakuan Piagam Djakarta berarti pengakuan sebagai dokumen historis sadja ataukah mempunjai akibat hukum, jaitu perkataan ‘Ketuhanan’ dalam Mukaddimah UUD 1945 berarti ‘Ketuhanan dengan kewadjiban mendjalankan sjari’atnja’, sehingga atas dasar itu bisa ditjiptakan perundang-undangan jang bisa disesuaikan dengan sjari’at Islam bagi pemeluknja?”.
Atas pertanyaan tersebut PM Djuanda dalam jawaban tertulisnya menyatakan bahwa, “pengakuan adanya Piagam Djakarta sebagai dokumen historis bagi Pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnja terhadap UUD 1945. Djadi pengaruh termaksud tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29 UUD 1945, pasal mana selanjutnja harus mendjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan. Jaitu bahwa ‘dengan demikian kepada perkataan ‘Ketuhanan’ dalam Pembukaan UUD 1945 dapat diberikan arti ‘Ketuhanan, dengan kewadjiban bagi umat Islam untuk menjalankan sjari’atnja’, sehingga atas dasar itu dapat ditjiptakan perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam, jang dapat disesuaikan dengan sjari’at Islam.” (Ibid., hlm. 127-131)
Dari tanya-berjawab kedua anggota DPR dengan Pemerintah tersebut tampak bahwa perkataan “menjiwai” dalam Dekrit Presiden bukanlah perkataa yang timbul begitu saja, melainkan memunyai latar sejarah yang panjang dan bermakna.