Kamis 22 Oct 2020 04:47 WIB

Hukum Penguasa Otoriter dan Demokratis

Di manakah beada hukum dalam penguasa otoriter dan demokratis?

Red: Muhammad Subarkah
Deklarator Koalisi Aksi Masyarakat Indonesia (KAMI) Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana diborgol.
Foto:

Proteksi terhadap setiap pribadi warga negara, suka atau tidak, senang atau tidak, menurut Profesor Ismail Suny merupakan kondisi-kondisi minimum yang menjadi syarat esensial tertentu bagi suatu masyarakat yang ingin disebut berada di bawah rule of law. UUD 1945 tegas menyatakan Indonesia negara hukum demokratis, sehingga saya berpendapat prinsip yang disampaikan Pak Suny itu berlaku imperative. 

Lebih jauh Profesor Ismail Suny menegaskan, tak seorang pun dapat ditahan atau dipenjarakan tanpa suatu keputusan hakim atau untuk maksud-maksud preventif. Tempat kediaman, masih menurut Pak Suny adalah tidak dapat dilanggar. Tak seorang pun dapat diusir dari rumahnya, dideportasi, atau diasingkan kecuali dalam perkara karena suatu keputusan pengadilan yang final. 

Bagi Pak Suny, sebagai kondisi minimum rule of law, setiap orang harus dijamin kebebasan menyatakan pendapat, terutama pers. Harus tidak ada ketentuan legislatif atau administratif yang dapat meniadakan kebebasan ini. Begitu kata Profesor Ismail Suny, dalam bukunya Mencari Keadilan, diterbitkan tahun 1981 oleh Ghalia, Jakarta.

Saya berpendapat jaminan kepastian hukum kepada  setiap orang, meliputi jaminan atas barang miliknya. Rumah misalnya, tidak dimasuki secara semena-mena. Disebabkan proteksi konstitusional ditujukan pada barang miliknya, maka rumah itu hanya dapat dimasuki orang lain setelah diizinkan pemilik rumah. 

Hukum mengatur prosedur memasuki rumah orang dalam kerangka penegakan hukum. Memasuki rumah orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana, dan diduga didalamnya terdapat barang bukti kejahatan, wajib berdasarkan izin ketua Pengadilan. 

Hukum mendefenisikan tindakan memasuki rumah itu sebagai tindakan penggeledahan. Penggeledahan tidak pernah bertujuan lain, selain dan hanya dalam rangka penyidikan. Itu sebabnya penggeledahan hanya dapat dilakukan penyidik setelah mendapat izin Ketua Pengadilan. Ini diatur dalam pasal 33 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tenbtang KUHAP. 

 Kembali ke soal menyatakan pendapat. Soalnya adalah menyatakan pendapat mengenai apa? Disebabkan UUD 1945 diterima oleh bangsa dan negara ini sebagai hukum yang mengatur cara pemerintahan negara diselenggarakan, maka tidak mungkin hal menyatakan pendapat yang dijamin dalam UUD 1945 tidak ditujukan pada cara pemrintah menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara. 

Mengharuskan orang menyelaraskan pendapatnya dengan pendapat dan tindakan-tindakan pemerintahan, jelas konyol. UUD 1945 cukup jelas memberi jaminan terhadap perbedaan pendapat. Pasal 6A ayat (3) UUD 1945, membenarkannya. Capres terpilih adalah Capres yang memperoleh suara lebih dari 50% disetiap provinsi yang tersebar  di lebih dari setengah  provinsi di Indonesia.  

Pasal 37 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 yang telah diubah, mengatur usul perubahan UUD 1945 harus diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Dan untuk mengubah UUD 1945, sidang MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR. Jelas UUD 1945 membenarkan perbedaan pendapat, bahkan oposisi. 

Mirip Buya Hamka, Bang Sahganda, Jumhur Hidayat, Anton Permana teridentitikasi kritis terhadap tindakan pemerintahan. Pikiran kritis mereka cukup terlihat. Sahganda dan Anton Permana malah terlihat produktif. Artikel-artikel kritis mereka cukup tersaji pada media olnline. 

Berbeda pendapat dengan pemerintah dalam sejumlah isu, UU Omnibus Cipta Kerja, yang proses pembentukannya teridentifikasi menyisakan masalah hukum itu, untuk alasan apapun tak dapat dikualifikasi sebagai perbuatan pidana. Tidak ada hukum didunia ini yang menghukum pikiran dan gagasan seseorang. 

Menyatakan dukungan, sebut saja demonstrasi, sebagai cara menyatakan pendapat dimuka umum secara kolektif, bukan pebuatan yang memiliki kualifikasi pidana. Bilapun dukungan itu dinyatakan melalui sarana media elektronik, siber, tetap saja tidak berkualifikasi perbuatan melawan pidana. 

Mengapa bisa begitu? Demonstrasi adalah perbuatan hukum yang dibenarkan menurut hukum positif. UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, bentukan Presiden Habibie. 

Demonstrasi, dalam UU ini terdefenisikan sebagai salah satau cara penyampaian pendapat di muka umum. Lain soalnya bila mereka nyata-nyata menyuruh seseorang demonstran (jelas namanya, kapan menyuruh, dimana pertemuannya). Atau   memberikan peralatan untuk merusak, apapun caranya, dalam demonstrasi itu. Ini jelas pidana.  

Perihal demonstrasi dan orang yang berbeda pendapat, Pak Habibie, Presiden pintar dan sangat rasional itu, seperti diberitakan Republika Online 20/1/2020, memandang perbedaan pendapat sebagai hal biasa. Perbedaan pendapat, dalam pandangannya tidak bisa berakhir dengan memenjarakan orang yang berbeda pendapat itu. 

Tak berteori, Presiden Habibie mewujudkannya dengan membebaskan para tahanan politik pada awal pemerintahannya. Top. Demokrasi memang selalu bisa terluka parah, karena berbagai sebab. Rasanya demokrasi tak usah dipanggil menjadi hakim untuk penahanan Dr. Sahganda dan lainnya. 

Konstatasi UUD 1945 dan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP saja yang peru dipanggil memeriksa semua yang dialami Bang Sahganda dkk. Itu saja. Kearifan pemimpin sebagai prasyarat fundamental demokrasi, yang ditunjukan Prersiden Habibie, yang dalam kenyataan tak selalu ada, tak mungkin diandalkan.

Alhamdulillah, Dr. Sahganda sejauh tampilannya pada saat ditampilkan  sebagai tersangka, dengan kedua tanggannya terborgol, terlihat kokoh. Dua jempolnya ikut menghiasi wajahnya yang terlihat berseri-seri. Lubang-lubang hukum yang membuatnya terjatuh, dan melukai, bukan hanya demokrasi, tetapi kemanusiaan terlihat nikmat sejauh ini. 

Di atas itu semua, hukum untuk mereka masih akan bekerja kearah hakikatnya; memartabakan dan memuliakan manusia. Sejarah sedang menulis peristiwa ini. Sejarah, rasanya tidak mampu menertawakan, apalagi menghina Dr. Sahganda, dkk. 

 

Jakarta, 20 Oktober 2020.      

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement