REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Keyakinan pemerintah bahwa omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja mampu meningkatkan investasi di Indonesia, ternyata tidak sepenuhnya terbukti.
Beberapa investor justru meragukan manfaat dari beleid tersebut pada perbaikan iklim investasi, terutama karena dianggap permisif terhadap kelestarian lingkungan.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan investor tidak satu suara menyambut pengesahan undang-undang tersebut.
Beberapa waktu lalu beredar surat terbuka dari 35 investor global dengan nilai penanaman modal sebesar USD4,1 triliun di Indonesia, yang memandang bahwa undang-undang tersebut justru akan merusak iklim investasi.
Para investor khawatir bahwa perubahan pada kerangka perizinan, pemantauan kepatuhan lingkungan, konsultasi publik dan sistem sanksi akan berdampak buruk terhadap lingkungan, hak asasi manusia, dan ketenagakerjaan.
Kekhawatiran mereka ini dianggap bisa menimbulkan ketidakpastian yang signifikan dan dapat mempengaruhi daya tarik pasar Indonesia.
Pada pekan ini, surat terbuka juga dilayangkan oleh Sumitomo Mitsui Trust Asset Management, sebuah perusahaan investasi dari Jepang kepada Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar.
Dalam surat tertanggal 15 Oktober 2020, investor asal Jepang tersebut mengkhawatirkan keberlangsungan investasi jangka panjang, karena undang-undang tersebut berpotensi merusak iklim investasi yang, menurut Sumitomo, sudah berlangsung cukup baik selama ini.
Menurut Faisal, respons negatif investor pada aturan ini karena mereka dari negara dan sektor yang memiliki preferensi berbeda. Misalnya investor asal Jepang, menurut dia banyak bergerak pada sektor manufaktur dan punya sejarah panjang dalam investasi di Indonesia.
“Investor Jepang lebih melihat kerja sama jangka panjang, tidak hanya jangka pendek, jadi keberlangsungan investasi sangat penting,” ujar Faisal kepada Anadolu Agency, Selasa.
Faisal menilai investor asal Jepang juga memperhatikan hubungan industrial dengan tenaga kerja, sehingga tidak hanya fokus pada kelonggaran ataupun penciptaan iklim kerja yang kompetitif bagi investor.
“Investor mungkin memperhatikan isu penerimaan buruh dan stabilitas politik. Kedua hal itu terancam karena undang-undang ini dipaksakan dan terburu-buru sehingga bisa menciptakan gejolak,” imbuh dia.
Faisal mengatakan ketidakstabilan politik yang mungkin timbul akibat penolakan undang-undang tersebut akan merugikan investor yang sudah lama menanamkan modalnya di Indonesia serta berorientasi investasi jangka panjang.
“Investor merasa iklim investasi justru akan terancam karena instabilitas politik,” tambah Faisal.
Dia menambahkan para investor asing juga merasa khawatir pada isu lingkungan hidup dengan adanya undang-undang tersebut. “Saya pikir pemerintah perlu mengkaji kembali undang-undang ini apakah betul-betul bisa menjawab pertanyaan investor,” lanjut Faisal.
Faisal mengatakan kekhawatiran dan perhatian dari para investor global ini adalah proses deregulasi yang memiliki efek samping pada keberlangsungan investasi serta mengorbankan hak asasi manusia, termasuk hak buruh.
“Artinya, undang-undang ini masih mendapatkan resistensi bukan hanya dari buruh, masyarakat, serta pakar, tapi juga meluas pada investor global,” ungkap Faisal.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan UU Cipta Kerja ini akan kehilangan legitimasi di mata investor dari negara maju. Menurut dia apapun putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan judicial review UU ini, investor global akan memandang negatif.
Alasannya investor internasional dengan berbagai produk dengan target konsumen di negara maju menginginkan penanaman modal yang memenuhi standar lingkungan, menghargai hak pekerja (fair labor dan decent work). Selain itu juga transparan serta tidak terlibat dalam praktik suap atau korupsi.
“Tapi ini kan anomali, justru omnibus law membuat Indonesia mundur ke belakang,” ujar dia.
“Dengan UU ini Indonesia sebenarnya turun kelas, bukan bersaing dengan Vietnam atau Thailand, tapi negara negara miskin dalam berebut investasi yang kualitasnya rendah,” ujar dia.
Menurut dia omnibus law tidak sesuai dengan praktik internasional yang diterapkan oleh perusahaan asal negara maju.
Jepang akan lanjutkan investasi dan proyek
Sementara itu, Jepang menyatakan komitmennya pada keberlanjutan investasi dan proyek-proyek di Indonesia.
Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi mematikan keberlanjutan proyek-proyek seperti pembangunan MRT, kereta cepat jalur Jakarta-Surabaya, Pelabuhan Patimban, pembangunan pulau-pulau terluar, dan kerja sama meningkatkan ketahanan ekonomi.
Jepang bahkan memberikan bantuan fiskal sebesar 50 miliar yen atau sekitar Rp6 triliun pada Indonesia. PM Suga mengatakan bantuan tersebut untuk meningkatkan kapasitas penanggulangan bencana mengingat dampak dari penyebaran Covid-19 terhadap perekonomian Indonesia.
"Jepang juga akan mendorong lembaga pengkajian kesehatan di Indonesia melalui pemberian barang dan medis," kata PM Suga.