Kamis 22 Oct 2020 04:47 WIB

Hukum Penguasa Otoriter dan Demokratis

Di manakah beada hukum dalam penguasa otoriter dan demokratis?

Red: Muhammad Subarkah
Deklarator Koalisi Aksi Masyarakat Indonesia (KAMI) Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana diborgol.
Foto:

Begitulah postur hukum khas rezim orde lama dibawah Bung Karno, yang telah menjadi sejarah itu. Membalutnya dengan model crime control, rezim Orde Lama juga Orde Baru memikat tujuan hukum untuk memberi faedah terbesar kepada orang kebanyakan. 

Tujuan hukum itu khas Jeremy Bentham, politisi Inggris yang terkenal dengan filsafat utilitariannya. Padahal filsafat itu berbau sosialistik ekstrim, untuk tak mengatakan komunistik. 

Seperti diidentifikasi Ralp Epperson, sejarawan kritis, Jeremy Bentham adalah penyokong tangguh beroperasinya East India Company di India. Dan sejarah membicarakan East India Company sebagai penghisap hampir semua aspek kehidupan India pada masanya.

Berdasarkan hukum seperti itu, maka keperluan untuk adanya bukti pendahuluan, yang bernilai hukum sebagai titik tolak keyakinan adanya peristiwa, dan siapa pelaku peristiwa itu, tidak lagi perlu. Memeriksa sejumlah saksi, dan bila perlu memeriksa saksi ahli, juga tak perlu. 

Perbuatan apakah yang dituduhkan kepada Bang Sahganda, Jumhur Hidayat, Anton Permana, Ustazah Kingkin dan lainnya sebagai perbuatan pidana?  Bagaimana mereka ditangkap? Bagaimana rumah mereka dimasuki? Bagaimana barang-barang mereka disita? 

Apakah tindakan-tindakan itu selaras dengan  hukum yang tertera pada Bab  XA dalam UUD 1945? Heading Bab XA itu adalah hak asasi manusia. Esensinya memberikan proteksi konstitusional kepada setiap warga negara. Warga negara, siapapun mereka, harus dijauhkan dari tindakan-tindakan melawan pemerintah yang melawan hukum. 

Proteksi kepada warga negara untuk mendapatkan jaminan dan kepastian yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, tertera jelas pada pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Niorma itu jelas cakupannya, termasuk hal apa yang harus diproteksi dan konsekuensi hukumnya. Apa hal yang harus diproteksi? 

Norma kepastian hukum dalam pasal itu, tidak ditujukan pada keadaan abstrak, yang mengawan-awan. Tidak. Norma itu ditujukan pada hal-hal kongkrit. Dalam hal seseorang hendak dikenakan tindakan hukum, maka hal (kasus) yang disangkakan padanya harus jelas terverifkikasi secara obyektif menurut hukum. 

Perbuatan apa yang disangkakan kepada Bang Sahganda dkk, harus jelas diuraikan, sekalipun secara singkat. Bagaimana penegak hukum meyakini peristiwa itu dilakukan oleh yang bersangkutan, juga harus jelas. 

Supaya jelas, penegakan hukum, suka atau tidak, harus terlebih dahulu memeriksa sejumlah orang, yang menurut hukum memenuhi kualifikasi sebagai saksi. Tidak itu saja. Jika perlu penegak hukum membekali kerjanya dengan  barang bukti pendahuluan minimum, serta harus memeriksa ahli. 

Barang bukti dan hasil pemeriksaan itu, menurut hukum harus diintegrasikan. Dari situ diperoleh atau memberi keyakinan kepada penegak hukum tentang kebenaran adanya persitiwa hukum. Dan peristiwa itu beralasan dikualifikasi sebagai peristiwa pidana, serta orang tersebut beralasan disangkakan sebagai pelakunya. 

Lain soalnya bila, misalnya bagi Syahganda dkk tertangkap tangan sedang atau segera setelah melakukan perbuatan pidana. Dalam kasus jenis ini, saat itu juga penegakan hukum wajib menangkapnya. Penegak hukum tak perlu menempuh prosedur minimal di atas. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement