Oleh : Christianingsih
REPUBLIKA.CO.ID, Tokoh agama dan keluarga adalah aktor penting dalam penyebaran informasi. Hal ini tercermin lewat survei Literasi Digital 2020 yang dirilis belum lama ini.
Menurut temuan di lapangan, responden menaruh kepercayaan tertinggi untuk informasi yang bersumber dari tokoh agama. Berdasarkan survei tersebut, sebanyak 50,6 persen menjawab percaya terhadap tokoh agama dan 34,7 persen yang menjawab biasa saja.
Keluarga dan saudara berada di urutan kedua. Sebanyak 49,3 responden menjawab percaya dan 38,8 persen menjawab biasa saja.
Kini mari berpaling sejenak ke Korea Selatan. Gereja Shincheonji dan gereja Sarang Jeil dikenal dengan pemimpin yang punya pengaruh besar di kalangan pengikutnya. Gereja Shincheonji dipimpin Lee Man-hee dan gereja Sarang Jeil dipimpin Rey Jun Kwang-hoon. Keduanya mempunyai kharisma yang tinggi di hadapan pengikutnya.
Mengutip Korean Herald, Jun pernah mengatakan kepada para pengikutnya dalam demonstrasi awal tahun ini bahwa "meninggal karena penyakit adalah patriotik". Dia menambahkan bahwa "mereka yang menderita penyakit akan disembuhkan jika mereka menghadiri demonstrasi". Jun memang dikenal vokal mengkritik pemerintahan Presiden Moon Jae-in.
Kedua gereja tersebut sempat ramai mewarnai pemberitaan lantaran jemaatnya tak menuruti instruksi kesehatan saat pandemi Covid-19 sedang ganas-ganasnya. Mereka beserta pemimpinnya tetap menggelar peribadatan dan demonstrasi tanpa menghiraukan protokol kesehatan.
Pemkot Seoul sampai meminta Gereja Sarang Jeil membayar ganti rugi sebesar 4,6 miliar won (setara Rp 58 miliar) karena dianggap telah menyebabkan penyebaran baru Covid-19 dengan mengganggu upaya penelusuran dan tes.
Pemimpin Gereja Shincheonji Lee Man-hee juga ditangkap dengan tuduhan menyembunyikan informasi tentang anggota grup dan pertemuan dari pelacak kontak. Kelompok agama yang kontroversial ini dikaitkan dengan lebih dari 5.200 kasus Covid-19 yang terjadi di Korea Selatan.
Berkaca dari fenomena di atas, kita dapat melihat betapa besar pengaruh pemuka agama dalam mengedukasi masyarakat, terutama para simpatisannya. Tak hanya di Indonesia tapi di berbagai belahan dunia, pengikut fanatik cenderung akan mengekor apa kata pemimpin yang ia hormati.
Dengan makin tingginya angka kasus Covid-19 di Indonesia, pemerintah seharusnya bisa 'memanfaatkan' para pemuka agama sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk mengedukasi masyarakat soal pandemi. Jika merujuk pada survei literasi yang telah disebutkan di atas, setiap kalimat yang meluncur dari mulut pemuka agama lebih dituruti ketimbang pakar kesehatan atau pejabat pemerintah sekalipun.
Sejak awal pandemi sampai detik ini, sudah banyak dokter dan epidemiolog bicara bahaya Covid-19. Hampir setiap hari pesan singkat dari Satgas Covid mampir di ponsel menyampaikan berbagai informasi dan anjuran soal menghindari infeksi Covid-19.
Namun kita melihat sendiri bagaimana setiap hari kasus Covid-19 bertambah dan terus bertambah. Angka denda yang terkumpul dari pelanggar protokol kesehatan pun semakin menggunung. Sejumlah ormas keagamaan juga tak ketinggalan menggelar aneka kegiatan dengan mengumpulkan massa.
Kalau sudah begini, sudah saatnya kita menitipkan sains pada para pemuka agama. Pemerintah perlu merangkul tokoh-tokoh agama untuk menyadarkan masyarakat pentingnya protokol kesehatan dan bahaya Covid-19. Harapannya, pesan dari pemuka agama bisa lebih mengena dan dipercaya masyarakat.
Kini pemerintah pun mulai ancang-ancang meluncurkan program vaksinasi Covid-19 dalam waktu dekat. Sebelum hoaks-hoaks tentang vaksin menyebar dan sebelum penganut teori konspirasi kian berkoar-koar, pemerintah dan pemuka agama bisa bergandeng tangan menjelaskan data dan fakta sains tentang vaksin kepada rakyat.
Keberhasilan menangani pandemi bukan hanya terletak di pundak pemerintah dan tenaga kesehatan. Semua kalangan punya tanggung jawab mencegah penularan Covid-19 dengan caranya masing-masing.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id