REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Mahkamah Konstitusi (MK) diharap mengurai 135 perkara penyelesaian perkara hasil pilkada (PHP) yang teregister. Diperlukan kenegarawanan hakim konstitusi dinanti untuk mengurai masalah yang terstruktur, sistematis, dan masif itu serta melahirkan keadilan substantif.
"Maka kita tentu berharap MK menjadi gerbang terakhir dispute resolution dilakukan. Selama ini belum cukup efektif, tetapi ada peningkatan KPU/DKPP untuk meningkatkan penyelesaian masalah," ujar mantan Ketua Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo berharap Mahkamah Konstitusi (MK) dalam diskusi webinar, Kamis (21/1).
Bambang berharap kepada kenegarawanan hakim MK karena masalah yang dihadapi sangat nyata dan bisa dirasakan.
"Penegakan hukum masih terkendala dalam hukum formal yang sangat menyekat-sekat poses itu. Bahkan beberapa regulasi tidak tegas apa yang harus dilakukan," ujar Bambang.
Bambang berharap MK bisa membuat keadilan substantif. MK bisa mengadili berbagai kasus kecurangan pilkada yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
"Kita harus mengakui gugatan yang masuk, indikator yang sangat bagus bahwa praktik di lapangan menyisakan banyak masalah," kata Bambang.
Contoh pelanggaran yang masih marak adalah politik uang atau money politics di berbagai daerah. Bambang menilai MK perlu progresif dalam mengadili perkara-perkara terstruktur dan masif tersebut.
"MK pernah membatalkan pasangan calon yang menang, tapi melakukan pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM) kasus Pilkada Kotawaringin Barat," kata Bambang.
Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini menjelaskan adanya Peraturan MK No 6 dan 7 yang meneguhkan syarat selisih seperti diatur dalam pasal 158 UU Pilkada tidak lagi lagi menjadi legal standing atau persyaratan pengajuan permohonan.
Titi mengutip alasan dua hakim MK yakni Aswanto dan Saldi Isra terkait pilihan tersebut. "Aswanto mengatakan jika MK begitu saja melaksanakan ketentuan syarat perselisihan suara bagi pasangan calon yang mengajukan perkara, maka MK sudah berpihak kepada salah satu calon yakni KPU. Karena itu pemeriksaan sengketa pilkada terkait selisih suara diperiksa di akhir," ujarnya.
Sementara kutipan Saldi Isra yang didapat titi yakni MK akan memberi ruang dengan mendengarkan pemohon beserta bukti, pihak terkait dan bawaslu.
"Kalau kami meragukan penerapan pasal 158, maka kami lanjutkan dengan pembuktian," ujar Titi mengutip pernyataan Saldi.
Namun titi menyatakan banyak varian kasus yang rumit di MK. Pernyataan ini disampaikannya saat menjawab pertanyaan tentang dugaan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) di Pilkada Lampung, Pilkada Kalteng, Pilkada Kalsel dan pilkada lainnya.
Titi menilai MK perlu mengadili tidak hanya statistik angka hasil, tetapi juga sampai mengurai masalah yang ada. Seperti Keputusan Bawaslu menganulir Keputusan KPU soal pemenang pilkada setelah KPU menetapkan pemenang pilkada.
"MK hadir untuk meluruskan. Apakah ada benturan antara Bawaslu-KPU," ujar Titi.
Namun untuk dugaan money politics, butuh kerja ekstra dalam pembuktian. Demikian juga tentang politisasi bansos dan penyalahgunaan wewenang, seperti mutasi PNS oleh calon pejawat.
Untuk diketahui, saat ini ada 135 perkara yang masuk ke MK terkait sengketa hasil Pilkada 2020. Dari jumlah itu, tujuh perkara di antaranya terkait Pemilihan Gubernur.
Salah satunya Pilgub Kalimantan Tengah (Kalteng). Di mana KPU Kalteng digugat oleh pasangan Ben Ibrahim-Ujang Iskandar.
Ben-Ujang tidak terima atas keputusan KPU Kalteng yang memutuskan pasangan pendapat suara terbanyak adalah Sugianto Sabran-Edy Pratowo dengan 536.128 suara.
Sedangkan Ben-Ujang mendapatkan 502.800 suara. Ben Ujang menilai KPU Kalteng tidak netral, seperti meningkatkan jumlah pemilih signifikan, penyalahgunaan struktur/birokrasi untuk mendukung salah satu calon, hingga money politics yang masif. Oleh sebab itu, Ben-Ujang meminta MK membatalkan Keputusan KPU Kalteng Nomor 075/PL02.6-Kpt/62/Prov/XII/2020, atau memutuskan digelar Pilkada ulang.