Oleh : Muhammad Fakhruddin, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Hujan deras mulai mengguyur di sejumlah daerah di Indonesia. Hujan sebenarnya peristiwa alam biasa namun yang perlu diantisipasi kemungkinan terjadinya bencana hidrometeorologi yang mengancam masyarakat, terutama yang tinggal di daerah rawan bencana.
Cuaca ekstrem pada periode ke depan seperti hujan secara sporadis, lebat, dan durasi singkat, disertai petir dan angin kencang, bahkan hujan es, berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi berupa banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin kencang, dan puting beliung.
Peristiwa hujan deras yang mengguyur selama berjam-jam misalnya telah menyebabkan bencana di empat titik berbeda di Kota Sukabumi. Dampaknya ada sejumlah rumah warga roboh akibat air sungai meluap dan longsor, Jumat (11/6) sore.
Bencana ketika datang memang sulit dihindari, namun risiko atau dampak kerusakan yang ditimbulkan serta munculnya korban jiwa yang diakibatkan dari bencana dapat dikurangi. Upayanya mitigasi bencana dapat dilakukan dengan peningkatan dan penguatan kapasitas kesiapsiagaan bencana yang dilaksanakan melalui berbagai cara.
Mulai dari sosialisasi, edukasi, melakukan uji sirine, latihan penanggulangan kedaruratan bencana, pembuatan peta jalur evakuasi secara partisipatif, mitigasi berbasis ekosistem, dan gerakan aksi bersih lingkungan.
Peringatan dini berbasis masyarakat, salah satunya menitikberatkan pada kemampuan merespons. Informasi sebagai suatu peringatan dini itu harus memenuhi parameter, antara lain informasi dipastikan sampai dan dipahami oleh masyarakat.
Sistem peringatan dini yang efektif dan masif pada setiap tingkatan, baik nasional, provinsi, kabupaten dan kota bahkan masyarakat sangat dibutuhkan untuk mengurangi resiko bencana. Sehingga upaya para pemangku kepentingan untuk dapat menyampaikan informasi maupun melakukan koordinasi yang dibutuhkan untuk aksi dini atau early action di tingkat masyarakat menjadi sangat penting.
Bencana hidrometeorologi merupakan bencana menahun yang kerap terjadi, tidak hanya pada musim hujan, tapi juga pada masa transisi, maupun kemarau.
Pada musim hujan, berpotensi terjadi banjir, banjir bandang dan tanah longsor, di masa transisi biasanya ditandai hujan lebat pada periode singkat disertai angin kencang hingga hujan es. Sedangkan di musim kemarau potensi bencana yang dihadapi berupa kebakaran hutan dan gelombang tinggi.
Indonesia merupakan salah satu negara paling rawan bencana di dunia. Pada tahun 2018, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Indonesia merupakan negara dengan jumlah terbanyak dari bencana yaitu 6.240 orang yang meninggal atau hilang.
Oleh karena itu diperlukan rencana kerja untuk meminimalisasi korban bencana. Salah satunya dengan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam hal ini keluarga. Hal ini adalah bagian dari ikhtiar kita menyelamatkan dan melindungi masyarakat kita dari ancaman bencana.
Perlu Keluarga Tangguh Bencana untuk mengurangi korban akibat suatu bencana dari keluarga. Karena lebih dari 51 juta keluarga di Indonesia tinggal di daerah rawan bencana.
Penguatan komunitas di masyarakat atau keluarga menjadi penting karena hasil survei yang dilakukan oleh Rajib Shaw pascagempa bumi di Hanshin-Awaji Jepang pada 2012 menunjukkan 97 persen dari orang-orang yang diselamatkan dari gempa bumi menjawab bahwa mereka diselamatkan oleh anggota keluarga mereka atau tetangga, atau menyelamatkan diri, sementara petugas penyelamat mengalami kesulitan untuk menjangkau mereka.
Sehingga, keluarga harus diberikan pengetahuan tentang ancaman dan resiko bencana serta cara menghindari dan mencegahnya. Sehingga mereka menyadari bahwa tinggal di wilayah rawan bencana dan perlu menyesuaikan kondisi tersebut, seperti dengan membangun rumah tahan gempa.
Selain itu, Keluarga Tangguh Bencana ini berperilaku selaras dengan prinsip pengurangan resiko bencana seperti membuang sampah pada tempatnya, menanam dan merawat pohon. Dengan begitu Keluarga Tangguh Bencana selalu siap siaga menghadapi bencana, mampu menghindar dan cepat pulih dari dampak bencana.