Oleh: Dr. Ari Yusuf Amir, SH, MH, Pakar Pidana Korporasi, Managing Partner’s Ail Amir Law Firm dan Pendiri LBH Yusuf
Sebentar lagi, kita akan tiba pada agenda pembacaan putusan hakim terhadap kasus Ferdy Sambo (FS). Kasus yang begitu menguras energi dan perhatian publik ini rencananya akan diputus hari ini, Senin, 13 Februari 2023, di PN Jakarta Selatan. Publik yang sekian lama mengikuti kasus penuh drama ini menanti dengan harap cemas. Akankah palu keadilan di tangan hakim mampu memberikan putusan yang berpihak pada Nurani keadilan, atau sebaliknya menjadi monster yang memupus asa bagi tegaknya hukum dan keadilan di tanah air.
Sebagai masyarakat, kita tentu berharap vonis terhadap FS akan menjadi tonggak penegakan hukum yang selama ini karut marut. Sebab kejahatan extra judicial killing yang dilakukan FS terhadap Brigadir J sangat memilukan. Apalagi dilakukan dalam statusnya sebagai petinggi Kepolisian. Bahkan disebut ‘polisi nya polisi” karena saat itu ia menjabat Kadiv Propam Polri. Kejahatan ini selain mengakibatkan duka mendalam bagi keluarga korban, juga mencoreng institusi kepolisian, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di dunia internasional. Bahkan kasus ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum merosot tajam.
TUNTUTAN JPU
Bila kita melihat anatomi kasus ini, pada persidangan tanggal 17 Januari 2023, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut FS dengan pidana penjara seumur hidup. Tindakan FS yang mengakibatkan hilangnya nyawa Brigadir J, dinilai JPU telah memenuhi unsur Pasal 340 juncto Pasal 55 KUHP tentang pembunuhan berencana.
FS juga dituntut secara melawan hukum dan tanpa hak menghalang-halangi penegakan hukum/obstruction of justicedengan menghilangkan alat bukti rekaman CCTV di lokasi pembunuhan Brigadir J. Tindakan merintangi penyidikan tersebut dinilai melanggar Pasal 49 subsidair Pasal 48 ayat 1 juncto Pasal 33 dan 32 ayat 1 UU ITE juncto Pasal 55 KUHP.
Baca juga : Aksi Arogan Fortuner Hajar Mobil Mungil Brio Viral, Mahfud MD: Seperti Film Gangster
JPU menilai kejahatan yang dilakukan FS dilakukan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta tidak diketemukan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf yang membebaskan dari segala tuntutan hukum atas perbuatannya, sebagaimana diatur Pasal 44 sampai 51 KUHP. Karena itu JPU menilai bahwa FS haruslah dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya.
Apalagi menurut JPU, ada beberapa hal memberatkan lainnnya, selain dilakukan oleh petinggi Polri dan mencoreng institusi Polri, FS juga selama memberikan keterangan di persidangan dianggap berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya. Hal ini menciptakan keresahan dan kegaduhan di masyarakat. Bahkan JPU menilai tidak ada satupun alasan meringankan. Termasuk dugaan pelecehan Brigadir J terhadap istri FS yang tidak terbukti.