Senin 25 Mar 2024 13:11 WIB

Pesantren Daaru Hira Adakan Kajian Kitab Karya KH Hasyim Asyari

KH Hasyim Asyari mewariskan sejumlah kitab yang dipelajari hingga sekarang.

Ilustrasi ngaji kitab kuning.
Foto: ANTARA FOTO/Anis Efizudin
Ilustrasi ngaji kitab kuning.

Oleh : Heru Nurinto, Santri Daaru Hira Angkatan VII

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KH. Muhammad Hasyim Asy’ari merupakan tokoh kharismatik sekaligus pahlawan nasional yang sangat berjasa di negeri ini. Ulama yang lebih dikenal dengan Hadrotussyaikh KH. Hasyim Asy’ari merupakan pendiri organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Di sela-sela menuntul ilmu dan mendirikan NU, KH. Hasyim Asy'ari juga menulis beberapa kitab. Salah satu kitab karyanya yang terkenal adalah Kitab Risalah Ahlusunnah Wal Jama’ah. Sebuah kitab yang membahas tentang penguatan akidah, sunnah-sunnah serta petunjuk bagi seorang muslim dalam menjalankan perintah Islam dan pergerakannya sebagai Ahlussunnah Wal Jama’ah. Kandungan kitab ini sarat akan hikmah dan pelajaran.

Pondok Pesantren Mahasiswa (PPM) Daaru Hira ikut andil dalam menyerap hikmah dan pelajaran dari Kitab Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah ini dengan mengadakan kajian kitab. Kajian dilaksanakan rutin tiap hari, yaitu hari pertama sampai hari ke-20 selama bulan Ramadhan 1445 H jam 05:00 - 06:00 WIB. Kajian dilaksanakan di Masjid Ar-Rahmah Malangrejo, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, D.I. Yogyakarta, masjid yang berada di komplek PPM Daaru Hira. Untuk memperluas jangkauan, kajian juga dapat diikuti secara daring sehingga dapat disimak oleh para alumni PPM Daaru Hira dan masyarakat umum. Pembicara kajian adalah Ustadz Prof. Dr. Tulus Musthofa, LC, MA, pengasuh sekaligus pendiri PPM Daaru Hira.

Baca Juga

Sebelum menjelaskan isi kitab. Ketua MUI DIY ini menyampaikan sekilas tentang sosok KH. Hasyim Asy’ari. “KH. Hasyim Asy’ari adalah pendiri NU, beliau teman dari KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Mereka berdua belajar dengan guru yang sama di Makkah, kemudian pulang ke tanah air membawa berkah.” jelasnya.

Selanjutnya Ustadz Tulus Musthofa memaparkan isi kitab. “Dalam kitab ini dituliskan hadits-hadits tentang orang-orang yang sudah meninggal, hadits-hadits tentang kematian, tanda-tanda hari kiamat, juga penjelasan tentang sunnah dan bid’ah.” paparnya. Selain itu, di awal tulisan dalam kitab ini dijelaskan tujuan penulisan kitab. “Tujuannya untuk memberikan nasehat diikuti dengan doa kepada Allah agar kitab ini memberikan manfaat kepada diriku (KH. Hasyim Asy’ari) dan orang lain.” tambahnya.

Bab pertama kitab ini menjelaskan tentang sunnah dan bid’ah. “Bab pertama menjelasakan tentang sunnah dan bid’ah. Yang dimaksud dengan sunnah secara bahasa adalah jalan. Secara syariat sunnah adalah jalan yang diridhai oleh Allah yang diajarkan di dalam agama dan yang diajarkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan yang lainnya, yaitu orang-orang pengikut Rasulullah atau tokoh-tokoh yang alim didalam agama. Secara adat sunnah adalah apa yang biasanya dilakukan oleh para pengikut Nabi. Selain sunnah ada istilah suni, suni adalah pengikut sunnah, artinya mengikuti Rasulullah.” paparnya. 

Materi selanjutnya tentang bid’ah. “Sebetulnya bid’ah itu apa? Bidah secara syariat adalah memperbarui urusan agama. Bukan agama dimasukkan ke dalam agama. Yang seolah-olah itu masuk agama padahal itu bukan agama, ini hati-hati. Sesuai sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” Misalnya merubah-rubah hukum, sesuatu yang bukan ibadah menjadi ibadah atau sebaliknya itu bid’ah. Tidak semua yang baru itu bid’ah tetapi yang menjadi bid’ah yang kalau bukan ibadah dijadikan ibadah.” tambahnya.

Lebih lanjut Ustadz Tulus Musthofa menjelaskan bahwa yang sudah disampaikan tersebut merupakan definisi sunnah dan bid’ah. Lantas bagaimana menentukan sunnah dan bid’ah? “Ada 3 ukuran untuk menentukan sunnah atau bid’ah. Pertama, dilihat dari sesuatu yang diperbarui itu apa, kalau sesuatu itu walau baru tetapi dikuatkan dengan ajaran syariat atau pokok syariat maka bukan bid’ah. Jadi kalau ada dalilnya walaupun itu sesuatu yang baru, dalil-dalil yang kuat bisa diambil untuk landasan. Jadi baru tetapi ditelisik itu ada dasarnya, ada dalilnya, itu bukan bidah. Landasan kedua, mempertimbangkan kaidah-kaidah para ulama, para imam, dan para pendahulu umat ini yang menjalankan sunnah. Apakah perbuatan-perbuatan baru itu ada landasan dari para ulama, para salafushalih, para sahabat tidak? Jadi kecuali Nabi juga ada landasan dari para salafushalih, khususnya khulafaurosyidin. Jadi apa yang dulu dilakukan para pendahuhu umat, misal para sahabat, tabiin, para tabiut tabiin, kemudian diikuti para ulama, maka tidak boleh dikatakan bidah. Dan apa yang mereka tinggalkan dengan sangat jelas maka tidak bisa dikatakan sunnah atau sesuatu yang terpuji.” paparnya.

Selanjutnya bagaimana jika perbuatan itu ada landasan dalilnya tetapi tidak dilakukan para salafushalih? “Seumpamanya terjadi ada landasannya, ada dalilnya tetapi para ulama pendahulu tidak melakukan, bagaimana itu? Ini para imam beda pendapat, kalau Imam Malik mengatakan, kalau ada pokoknya tetapi para pendahulu, para salafusholih tidak melakukan, maka menurut Imam Malik dikatakan bid’ah. Sedangkan menurut Imam Syafi’i, sesuatu yang ada dalilnya tetapi tidak dilakukan para salaf itu bukan bid’ah. Mengapa tidak dikatakan bidah? Karena menurut Imam Syafi’i, mereka tidak melakukan itu mungkin karena ada uzur, ada alasan, ada sebab yang terjadi pada waktu itu, atau mereka tidak melakukan karena ada sesuatu yang lebih utama dari apa yang ditinggalkan. Jadi untuk membahas hadits tadi (tentang bid’ah) itu banyak sekali pembahasan-pembahasan, diantara para imam juga terdapat perbedaan pendapat.” jelas Ustadz Tulus Musthofa.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement