REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara administratif, Pedukuhan Tebuireng berlokasi di Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Seperti dilansir dari laman Tebuireng Online, nama daerah tersebut berasal dari ungkapan "kebo ireng" (kerbau hitam).
Konon, dahulu kala seorang penduduk setempat memiliki kerbau berkulit kuning. Namun, pada suatu hari hewan itu menghilang dari kandang. Si pemilik mencarinya ke mana-mana. Akhirnya, kerbau itu ditemukan dalam keadaan hampir mati karena terperosok dalam rawa-rawa yang dihuni banyak lintah.
Sekujur tubuh hewan tersebut digerogoti lintah. Warnanya yang semula kuning pun berubah menjadi hitam. Melihat itu, si pemilik kerbau berteriak-teriak, "Kebo ireng! Kebo ireng!"
Sejak saat itu, dukuh tempat peristiwa ini terjadi disebut sebagai Keboireng. Namun, pada akhirnya nama itu berubah lagi menjadi Tebuireng, seiring dengan bertambanya jumlah penduduk setempat.
Apakah perubahan nama tersebut berkaitan dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun tersebut? Mungkin saja. Terlebih lagi, tebu yang para petani tanam di sana berwarna hitam (ireng).
Ketokohan Mbah Hasyim
Pada akhir abad ke-19 M, banyak pabrik gula berdiri di sekitar Pedukuhan Tebuireng. Adanya industri tersebut tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, melainkan juga sosial-budaya masyarakat setempat.
Ketergantungan rakyat terhadap pabrik kemudian berlanjut pada penjualan tanah-tanah rakyat yang memungkinkan hilangnya hak milik atas tanah. Diperparah lagi oleh gaya hidup masyarakat buruh yang cenderung jauh dari nilai-nilai agama.
Kondisi ini menyebabkan keprihatinan mendalam pada diri KH Hasyim Asy'ari. Ulama yang lahir di Jombang pada 14 Februari 1871 ini pernah menuntut ilmu di pelbagai pondok pesantren (ponpes); dan kemudian Masjidil Haram, Makkah al-Mukarramah.
Begitu pulang dari Tanah Suci, Kiai Hasyim Asy'ari membeli sebidang tanah milik seorang dalang terkenal di Dusun Tebuireng. Kemudian, tepat pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H atau 3 Agustus 1899 M, ia mendirikan sebuah bangunan kecil di sana.
Bentuknya amat sederhana. Bangunan itu terbuat dari anyaman bambu berukuran 6x8 meter persegi. Ini kemudian disekat menjadi dua bagian.
Bagian belakang dijadikan tempat tinggal Kiai Hasyim dan istrinya, Nyai Khodijah. Adapun bagian depan difungsikan sebagai mushala.
Ketika itu, para santri Kiai Hasyim "hanya" berjumlah delapan orang. Mereka inilah para santri awal Ponpes Tebuireng.