Kamis 04 Jul 2024 19:32 WIB

Kunjungan Grand Syekh Al-Azhar Mesir, NU, dan Perdamaian Dunia

Grand Syekh Al Azhar Mesir akan berkunjung ke Indonesia

Red: Nashih Nashrullah
(dari kiri) Presiden RI Joko Widodo menyambut kedatangan Grand Syekh Al Azhar Prof Syekh Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyeb.
Foto:

Oleh : DR KH Anis Mashduqi, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Hadi Yogyakarta, Dosen UIN Sunan Kalijaga

Apa yang diperjuangkan NU oleh para ulama sejak kemerdekaan, bahkan jauh sebelum kemerdekaan sampai saat ini, senada dan seirama dengan apa yang diperjuangkan Grand Syaikh Al-Azhar (GSA) melalui institusi besar Al-Azhar.

Dengan latar belakang keilmuan dan tradisi keislaman yang sama, keduanya tampil mengampanyekan Islam Moderat dalam berbangsa dan bernegara serta menjadi corong Islam Moderat ke berbagai belahan dunia saat ini.

Penanda-tanganan dokumen “The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together)” pada 4 Februari 2019, di Abu Dhabi bersama Paus Fransiskus menandakan semangat GSA menebar perdamaian dunia.

Peristiwa pertemuan dua tokoh besar dunia tersebut tidak hanya menandai tonggak sejarah dalam hubungan antara Kristen dan Islam, tetapi juga mewakili pesan perdamaian dengan dampak kuat pada kancah hubungan internasional antarnegara dan agama.

Dalam pertemuan itu GSA mengatakan, “Kami memulai jalan ini dengan harapan akan terwujudnya sebuah dunia baru yang bebas dari perang dan konflik, di mana mereka yang merasa takut dapat ditenangkan, yang miskin dapat bertahan, yang rentan dilindungi dan keadilan ditegakkan. Dan meskipun kami yakin bahwa tujuan kami tidak dapat dicapai di dunia yang penuh dengan konflik tanpa batas, mengingat tujuan tersebut tidak dapat diterima oleh para penghasut perang, namun mengambil jalan perdamaian sudah ditakdirkan bagi semua orang yang beriman kepada Tuhan.” (america-magazine.org)

Pada momentum paling mutakhir, PBNU menginisiasi Forum Religion of Twenty (R20) pada 2022 sebagai forum pertemuan tokoh-tokoh agama dunia. KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU, bersama dengan Sekjen Liga Muslim Dunia DR Mohammad Al-Issa dari Arab Saudi, ingin mendorong agama menjadi solusi berbagai macam problem dunia.

Agama tidak hanya difungsikan sebagai alat legitimasi politik, akan tetapi secara nyata mampu digunakan untuk menghentikan penyebaran kebencian komunal, mendorong solidaritas dan rasa hormat di tengah keberagaman masyarakat, budaya, serta bangsa di dunia, serta mendorong munculnya tatanan dunia yang benar-benar adil dan harmonis, yang didasarkan pada penghormatan terhadap persamaan hak dan martabat setiap manusia.

"Nahdlatul Ulama mendorong setiap orang yang beriktikad baik, dari setiap agama dan bangsa, untuk menolak penggunaan identitas sebagai senjata politik dan ikut serta mendorong solidaritas dan rasa hormat di tengah keberagaman masyarakat, budaya, dan bangsa di dunia yang dibangun berlandaskan aspirasi paling luhur dari setiap peradaban. Inilah misi Forum Agama G20 (R20) saat ini dan tahun-tahun seterusnya," Gus Yahya menyampaikan.

Baik GSA maupun NU, sama-sama berakar para tradisi keilmuan Ahlussunnah wal Jamaah yang melandaskan pemikiran dan sikapnya kepada moderatisme teologis Asy'ariyah dan Maturidiyah. Keduanya juga melandaskan pemikiran hukum atau fikih kepada Empat Madzhab dan bertasawwuf secara moderat mengikuti Imam Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi.

Pakem pemikiran dalam trilogi disiplin keilmuan keislaman inilah yang disampaikan oleh GSA dalam berbagai kesempatan. Karena berakar pada tradisi yang sama, keduanya lahir dengan gagasan dan sikap yang sama dalam menghadapi berbagai problem dunia.

Kunjungan GSA yang rencananya akan diihelat pada bulan ini, tepatnya pada tanggal 08-11 Juli 2024 memiliki makna tersendiri bagi dua institusi Ahlussunnah wal Jamaah penjaga Islam Moderat di dunia ini.

Setidaknya, keduanya perlu bergandengan tangan, memperkuat kampanye dan gerakan melawan ancaman ekstremisme dan terorisme di dunia. Baik ekstremisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama maupun ekstrimisme dan terorisme politik yang melanda sebagian umat Islam di Palestina.

Moderatisme agama perlu dikampanyekan terus menerus oleh keduanya untuk menciptakan perdamaian dunia di masa yang akan datang, di mana berbagai keragaman menjadi realitas nyata.

Kedua institusi besar ini, baik Al-Azhar maupun NU, seharusnya mampu melakukan hal besar bagi perdamaian dunia global di tengah ancaman berbagai konflik yang sanggup mengganggu dan merusak upaya-upaya perdamaian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement