REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin menegaskan banyaknya aksi kekerasan dalam hubungan antar umat beragama akhir-akhir ini disebabkan oleh kebijakan maupun hukum negara yang terlalu membiarkan. Menurut Din, situasi itu merupakan ketidakefektifan atau kegagalan negara dalam menunaikan tugas dan tanggung jawabnya untuk mengelola kesejahteraan, serta kemajuan rakyat karena membiarkan hal semacam itu terjadi.
“Padahal negara (merupakan) pemegang hak mandataris untuk mengelola (kesejahteraan dan kemajuan rakyat) itu,” tegasnya dalam diskusi Polemik:Merdeka Tapi Cemas, di Jakarta Sabtu (14/8). Ia menambahkan, apabila negara terus menerus tidak hadir, maka rakyatnya akan muncul dan membuat Indonesia berubah menjadi negara kekerasan.
Pihak negara yang dimaksudnya adalah semua bagian dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pengabaian semacam ini, kata dia, membuat warga negara yang merasa aspirasinya kurang didengar dalam proses demokrasi, maka menjadi anarkis karena tidak adanya penyaluran.
Berbagai tindak kekerasan itu, menurut dia, harus ditindak secara hukum. "Namun, yang terjadi justru malah sebaliknya. Tidak ada tindakan apapun dari aparat keamanan, dalam hal ini kepolisian," kata Din.
Kebebasan beragama, kata Din, bukan lahir karena konstitusi yang diciptakan oleh negara, melainkan muncul karena prinsip-prinsip beragama itu sendiri. "Jadi, kalau ada kelompok yang menyatakan agama tidak mendukung kebebasan beragama kelompok lain, mereka itu itulah yang sebenarnya kelompok anti agama," tegas Din.
Untuk mengatasi persoalan ini, Din berharap persoalan agama tidak diserahkan kepada masyarakat seperti layaknya pasar bebas. "Kalau urusan kebebasan beragama diserahkan ke pasar bebas itu jelas tidak baik. Tetapi, harus diatur,” katanya. Pemerintah, merupakan pihak yang berkewajiban untuk mengaturnya, sehingga ada kesadaran bersama.
Sementara Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhi Massardi berpendapat maraknya tindak kekerasan yang membawa-bawa bendera Islam sebagai akibat sikap pemerintahan yang plin-plan dan tidak berani mengambil tindakan tegas."Kapolrinya melihat presidennya setengah-setengah, dia juga ikut setengah-setengah," ujarnya. Ardhi juga menuding pemilu presiden yang sarat unsur pencitraan ikut berperan membentuk situasi tersebut. "Yang muncul yakni presiden sebagai pemimpin citra."