Rabu 18 Aug 2010 04:10 WIB

Pria dengan Pendapatan Pas-pasan Cenderung Selingkuh, Kok?

Rep: Agung Sasongko/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Ilustrasi
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON--Pentingnya menjaga harmonasasi hubungan suami-istri melalui pembagian hak dan kewajiban bukanlah tanpa sebab. Ketika seorang suami lebih mengandalkan penghasilan terhadap istri ternyata memberikan efek negatif.

Sebuah studi mengungkap seorang pria yang mengandalkan penghasilan istri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari cenderung suka berselingkuh. Peneliti percaya, kecenderungan itu disebabkan efek psikologis yang dihadapi  suami sehingga pada akhirnya mencari pelampiasan kepada orang lain melalui cara berselingkuh,

Di Inggris misalnya, lebih dari 2.7 juta  perempuan Inggris berpenghasilan lebih dari pasangan mereka, perselingkuhan tersebut menjadi semakin umum. Secara kontroversial, peneliti dari Cornell University menemukan cara untuk menutup kesenjangan upah yang menyebabkan efek ketidakstabilan hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Menurut peneliti, cara yang dimaksud adalah memberikan 25 persen pendapatan kepada suami. Dengan pemberian itu, gap kesenjangan pendapatan antara suami dan istri bisa diminimalisir. Sayangnya, pemberian itu bukanlah tanpa efek. Faktanya, banyak pria merasa diremehkan sehingga berujung pada aksi berselingkuh.

Kasus perselingkuhan juga terjadi pada pria dengan penghasilan tinggi. Tiger Woods merupakan contoh anyar pria berduit yang berselingkuh. Sosiolog Christin Muncsh menyatakan sebagai satu bagian dari spektrum hubungan, memiliki pendapatan kurang dari istri akan mengancam identitas gender seorang pria yang berlanjut pada pertanyaan tradisional yang menyatakan bukankah pria harusnya menjadi pemimpin keluarga.

"Diakhir spektrum hubungan, pria dengan pendapatan luar biasa ketimbang pasangan mereka membuat kesempatan berselingkuh kian besar. Biasanya, waktu jam kerja yang panjang, perjalanan dinas dan pendapatan tambahan yang tinggi memicu terjadi perselingkuhan,"kata dia.

Ihwal perselingkuhan yang dilakukan pria tak berduit, Munsch menilai hal itu disebabkan pria merasa diremehkan dan akhirnya menjadikan perselingkuhan sebagai jalan keluar. Seharusnya, kata dia, perselingkuhan itu bisa dihindari bila perempuan memberikan dukungan kepada pasangannya untuk lebih baik mengatur keuangan dan pendapatan.

Sementara itu, dalam kasus yang berbeda, perempuan yang mengandalkan pendapatan dari suami 75 kali berpotensi melakukan perselingkuhan. Fakta ini lebih buruk ketimbang perempuan yang memberikan kontribusi besar terhadap rumah tangga.

Peneliti menilai, terdapat beberapa asalan yang menyebabkan hal itu seperti misal kesejahteraan lebih banyak dirasakan pria. Sedangkan perempuan hanya menghabiskan waktu dirumah. Meski begitu, tak sedikit individu yang merasa puas dengan kondisi yang mereka alami dalam berumah tangga. Mereka berpikir ulang untuk berselingkuh lantaran potensi perceraian bakal lebih besar.

"Bagi perempuan, berpendapatan minim tidak akan mengancam posisinya. Namun, alangkah lebih baik bila perempuan mampu menjaga kekuatan ekonominya guna mencegah kesempatan untuk berselingkuh, dan mereka mungkin saja mengkalkulasikan keputusan untuk tidak berselingkuh, jika mereka tidak berpikir demikian tentu rumah tangga seseorang bakalan terancam," tuturnya.

Sebelumnya, tim riset Cornell University melibatkan ribuan pasangan dengan rentang usia 18-28 tahun dan telah menikah selama 10 tahun. Hasilnya, Hanya 3,8 persen pria dan 1,4 persen wanita yang mengaku berselingkuh pada suatu tahun tertentu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement