REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai syarat pemberian remisi untuk koruptor harus diperberat. Lantaran kasus korupsi adalah kejahatan luar biasa.
“Kami menganggap korupsi itu kejahatan luar biasa. Harusnya syaratnya diperberat, harus dilihat juga misalnya korupsi sudah bertriliun-triliun,” ujar juru bicara KPK, Johan Budi SP, Senin (23/8).
Secara khusus, Johan juga menyentil masalah pemberian keringanan hukuman berupa pembebasan bersyarat pada besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Aulia Pohan. “Kasus Aulia Pohan sudah diputus bersalah pengadilan, dan dia dijerat UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” jelas Johan. ''Tapi KPK enggan berpolemik lagi karena itu sesuai putusan pengadilan.''
Indonesia mempunyai aturan pemberian remisi di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28/2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Di dalamnya mengatur mengenai pemberian remisi. Remisi mengenai tindak pidana umum diberikan setelah enam bulan melaksanakan hukuman pidana, sedangkan remisi mengenai korupsi (koruptor) diberikan setelah sepertiga melaksanakan hukuman pidana.
Dari total 58.234 narapidana yang diberikan remisi, sebanyak 4.780 napi langsung bebas. Karena masa tahanannya habis setelah diberikan remisi. Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menyatakan, narapidana kasus terorisme, koruptor, ilegal logging, dan narkoba juga mendapatkan remisi. Namun dengan catatan, napi harus sudah menjalani sepertiga masa tahanan.
Remisi akan diberikan kepada para narapidana yang berkelakuan baik, tidak pernah memiliki catatan buruk selama menjalani masa hukuman. "Para napi ini menjadi role model buat para tahanan lainnya," ucap Patrialis kala itu.