REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- penyederhanaan jumlah parpol melalui revisi UU Partai politik No 2/2008 mendesak dilakukan. Sebab, terlalu banyaknya jumlah partai tidak bisa membangun akuntabilitas politik antara partai dan konstituennya.
Demikian dikatakan Direktur Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia (Puskapol Dip FISIP UI), Sri Budi Eko Wardani.
Ia kemudian menjelaskan, dalam Pemilihan Umum 2009, perolehan kursi Partai Demokrat, Golkar dan PDIP di nasional dan lokal telah mencapai separuh dari total perolehan kursi yang ada. Di DPR RI, perolehan kursi ketiga partai besar ini telah mencapai 61,96 persen dari total kursi yang ada. Sementara di DPRD semua provinsi, perolehan kursi tiga partai ini mencapai 48,97 persen dan di DPRD Kabupaten/Kota, perolehan kursi tiga partai ini mencapai 42,87 persen. Maka, meskipun ada kecenderungan menurun di tingkat lokal yang diakibatkan persaingan lebih ketat (tidak ada Parliamentary Threshold untuk kursi DPRD), tetapi perolehan kursi ketiga partai ini tetap dominan di tingkat lokal secara agregat.
"Malah ada Kabupaten/Kota yang memiliki 25 jumlah kursi namun jumlah partai peserta pemilunya mencapai 20 parpol," tegasnya untuk menggambarkan ketidak efektifan terlalu banyaknya parpol peserta pemilu.
Terkait hal ini, Dani, panggilan akrabnya, mengakui bahwa dirinya pun melihat dilematis dalam hal penyederhanaan partai di Indonesia sekarang. Menurutnya, akan sulit untuk melakukan penyederhanaan partai, apalagi ada aturan parpol yang boleh ikut pemilu hanya yang PT nya mencapai 2,5 persen dan punya kursi di daerah. "Sudah pasti penyederhanaan partai akan tidak terjadi," kata dia.
Dalam hal ini, Dani memperkirakan bahwa UU parpol dan UU pemilu Ini akan menjadi kumpulan pasal kompromi. Prediksinya, partai-partai kecil itu boleh ikut pemilu, tapi verifikasinya diulang lagi.