Jumat 17 Dec 2010 03:21 WIB

Penyederhanaan Parpol Mendesak Dilakukan, Tapi...

Rep: Yasmina Hasni/ Red: Siwi Tri Puji B
Sri Budi Eko Wardani
Foto: .
Sri Budi Eko Wardani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- penyederhanaan jumlah parpol melalui revisi UU Partai politik No 2/2008 mendesak dilakukan. Sebab, terlalu banyaknya jumlah partai tidak bisa membangun akuntabilitas politik antara partai dan konstituennya.

Demikian dikatakan Direktur Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia (Puskapol Dip FISIP UI), Sri Budi Eko Wardani.

Ia kemudian menjelaskan, dalam Pemilihan Umum 2009, perolehan kursi Partai Demokrat, Golkar dan PDIP di nasional dan lokal telah mencapai separuh dari total perolehan kursi yang ada. Di DPR RI, perolehan kursi ketiga partai besar ini telah mencapai 61,96 persen dari total kursi yang ada. Sementara di DPRD semua provinsi, perolehan kursi tiga partai ini mencapai 48,97 persen dan di DPRD Kabupaten/Kota, perolehan kursi tiga partai ini mencapai 42,87 persen. Maka, meskipun ada kecenderungan menurun di tingkat lokal yang diakibatkan persaingan lebih ketat (tidak ada Parliamentary Threshold untuk kursi DPRD), tetapi perolehan kursi ketiga partai ini tetap dominan di tingkat lokal secara agregat.

"Malah ada Kabupaten/Kota yang memiliki 25 jumlah kursi namun jumlah partai peserta pemilunya mencapai 20 parpol," tegasnya untuk menggambarkan ketidak efektifan terlalu banyaknya parpol peserta pemilu.

Terkait hal ini, Dani, panggilan akrabnya,  mengakui bahwa dirinya pun melihat dilematis dalam hal penyederhanaan partai di Indonesia sekarang. Menurutnya, akan sulit untuk melakukan penyederhanaan partai, apalagi ada aturan parpol yang boleh ikut pemilu hanya yang PT nya mencapai 2,5 persen dan punya kursi di daerah. "Sudah pasti penyederhanaan partai akan tidak terjadi," kata dia.

Dalam hal ini, Dani memperkirakan bahwa UU parpol dan UU pemilu Ini akan menjadi kumpulan pasal kompromi. Prediksinya, partai-partai kecil itu boleh ikut pemilu, tapi verifikasinya diulang lagi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement