REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Putusan Mahkamah Agung (MA) yang melepas mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Romli Atmasasmita dari segala tuntutan, dianggap sebagai bukti tuduhan Kejagung tidak benar.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito mengatakan vonis MA yang melepas Romli secara otomatis menjadikan perkara Sisminbakum harus dihentikan. Kejaksaan kehilangan basis fakta memproses tersangka lain.
"Konsekuensi hukumnya kasus ini harus dihentikan. Proses hukum semua tersangka yang terkait kasus ini juga harus dihentikan termasuk proses hukum Pak Yusril dan Pak Hartono," katanya di Jakarta, Jumat (24/12).
Ia menegaskan, penyidik tidak boleh menghukum orang kalau dia sendiri ragu menentukan posisi kasusnya. Langkah konkretnya (Sisminbakum) harus ditutup karena kasusnya sudah lama. "Apalagi ini menyangkut kebijakan negara yang tidak bisa dipidanakan," kata Margarito.
Mahkamah Agung menjelaskan beberapa alasan mengabulkan permohonan kasasi Romli Atmasasmita dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 345/pid/2009/PT DKI 20 Januari 2010 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 7 September 2009.
MA mengabulkan permohonan kasasi itu karena penyelenggaraan pengesahan akta pendirian PT dengan sistem online atau sisminbakum termasuk kesepakatan pemerintah Indonesia dan IMF. Sayangnya, saat itu tidak didukung oleh anggaran negara. Karena itu, Yusril sebagai Menkum HAM, dalam sidang kabinet, mengajukan kerja sama dengan pihak swasta yaitu PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) dan disetujui Presiden Abdurahman Wahid untuk selanjutnya dilaporkan kepada Bappenas.
Proses Sisminbakum juga telah diperkuat dengan SK, seperti pemberlakuan Sisminbakum, SK tentang penunjukan SRD, surat perjanjian kerja sama tarif akses serta pembagian. Koperasi Pengayoman Depkum HAM (ssebelum menjadi Kemenkum HAM), mendapat 10 persen dan PT SRD 90 persen.
Romli, saat menjabat sebagai Dirjen AHU, menjalankan kebijakan menteri secara materil dan tidak mendapatkan keuntungan. Demikian pula, terhadap uang Rp1,316 miliar yang belum ditetapkan Peraturan Pemerintah sebagai penghasilan negara bukan pajak (PNBP) sehingga tidak bisa disebut merugikan negara.