REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Mantan Wakil Presiden (Wapres), M. Jusuf Kalla, menyatakan tidak tahu menahu soal pelaksanaan Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun ia mengatakan secara kebijakan sistem tersebut tidak ada masalah.
"Bukan urusan saya soal teknis Sisminbakum," katanya, seusai menjadi saksi meringankan tersangka Yusril Ihza Mahendra, di Jakarta, Rabu.
Pembuatan atau kebijakan Sisminbakum ini dilakukan terkait dengan pelaksanaan Letter of Intent (LoI) berupa swastanisasi dan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Salah satu diantaranya swastanisasi pembuatan pelayanan Sisminbakum yang dikelola oleh pihak swasta PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) bekerja sama dengan Koperasi Kepegawaian Kementerian Hukum dan HAM.
Di dalam perjanjian, diatur pembagian keuntungan Sisminbakum tersebut, yakni 90 persen untuk PT SRD dan sisanya untuk koperasi atau pemerintah. Kemudian dari 10 persen itu dibagi lagi, yakni 60 persen untuk koperasi dan 40 persen dibagikan kepada sejumlah pejabat tinggi di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU).
Pembagian 40 persen itu, yang menyeret mantan Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, sebagai tersangka dalam dugaan korupsi Sisminbakum yang merugikan keuangan negara Rp420 miliar.
Ia menyatakan bahwa apa yang dilaksanakan Yusril Ihza Mahendra dalam posisi kebijakan, dan hal itu diputuskan oleh pemerintah pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
"Karena itu ditetapkan juga dalam LOI pemerintah dengan IMF, jadi semua bahwa perlunya mempercepat rehabilitasi ekonomi dengan mempermudah pendaftaran perusahaan, karena pada waktu itu untuk mengatasi krisis perlu melakukan percepatan," katanya.
Ditambahkannya, soal adanya kenaikan tarif bagi notaris yang akan membuat badan usaha melalui Sisminbakum itu, tidak dibahas dalam kebijakan pembuatan Sisminbakum.
"Kenaikan tarif Sisminbakum itu, ada di tataran pelaksanaan," katanya. Ia menuturkan kesaksian dirinya di hadapan penyidik itu berbicara dalam peranan menteri sebagai pengambil kebijakan.