REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Anti Korupsi , Rabu (16/3), mendatangi Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka melaporkan dugaan tindak pidana korupsi pada pembangunan gedung baru DPR RI yang diperkirakan menelan biaya sebesar Rp. 1.138 triliun
Ada tujuh LSM yang melaporkan dugaan korupsi itu. Yaitu, Transparancy International Indonesia (TII), Indonesia Corruption Watch (ICW), Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Komite Pemilih Indonesia, Sugeng Sarjadi Syndicate, dan Indonesia Budget Center.
Menurut Koordinator Lingkar Madani Untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti, laporan indikasi korupsi itu sekaligus menunjukkan penolakan terhadap rencana pembangunan gedung baru DPR. Karena, pembangunan yang akan mengeluarkan biaya besar itu dianggap melukai perasaan rakyat yang kondisinya saat ini memprihatinkan. “Kami minta supaya rencana pembangunan gedung baru itu dihentikan,” ujar Ray usai melaporkan dugaan korupsi tersebut di Kantor KPK, Rabu (16/5).
Aktivis dari Transparency International Indonesia (TII), Heny Yulianto menjelaskan, dalam laporan itu dijelaskan terdapat empat kebohongan yang dilakukan DPR soal pembangunan gedung itu. Yaitu, kebohongan soal kondisi gedung yang miring, kebohongan mengenai persetujuan seluruh fraksi dimana fraksi Gerindra menolak pembangunan itu, kebohongan untuk meningkatkan kinerja, dan kebohongan penyediaan fasilitas seperti kolam renang untuk karyawan DPR pada gedung baru . “Padahal tidak satupun hal tersebut merupakan keinginan karyawan,” ujar Heny.
Selain itu, proses perencanaan pembangunan gedung DPR itu dilakukan secara tertutup dan membuat masyarakat tidak mengetahui adanya rencana pembangunan itu. Pada akhir tahun 2010, dana yang dhabiskan untuk proyek perencanaan mencapai Rp 14.5 miliar. Dana itu digunakan untuk membiayayai proses perencanaan dan manajemen konstruksi serta kajian ulang rencana induk, AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan), dan audit struktur bangunan.
“Hingga saat ini juga belum ada kejelasan apakah pengadaan jasa konsultasi yang menghabiskan dana Rp 14,5 miliar itu dilakukan melalui proses tender terbuka atau tidak, ketidakjelasan ini mengarah ke dugaan tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Terakhir, lanjut Heny, dalam laporan itu disebutkan ketidakjelasan nominal untuk biaya pembangunan gedung DPR mengundang kecurigaan adanya upaya mengelabui masyarakat . Nilai biaya yang dijelaskan hanya untuk bangunan fisik sebesar Rp 1.138 triliun sedangkan biaya furniture, IT, dan sistem keamanan tidak dijelaskan. “Kesimpulannya, potensi kerugian keuangan negara akan sangat besar jika pembangunan gedung ini akan dilanjutkan,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia mendesak KPK untuk segera melakukan penyelidikan atas indikasi korupsi yang terjadi dalam proses perencanaan tersebut. Selain itu, KPK juga harus melakukan pemeriksaan terhadap alat kelengkapan DPR dan actor-aktor di lingkungan DPR yang dduga merekayasa dugaan legalisasi korupsi terkait pembangunan gedung itu.