REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ribuan orang dengan koper besar berjubelan di Bandara Internasional Narita, Tokyo, Jepang. Kepanikan tampak di wajah mereka. Bahkan sebagian menggunakan masker. Calon penumpang yang kebanyakan ekspatriat ini tampak gugup untuk segera meninggalkan negeri Sakura.
Bukan hanya warga asing saja yang tunggang langgang lari dari Jepang. Sebagian penduduk Tokyo pun banyak memilih keluar kota. Mereka semua panik akibat satu kata, radiasi dari rusaknya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi yang terletak 240 kilometer utara Tokyo.
Angka radiasi tertinggi yang sempat terukur di Tokyo adalah 0,809 microsievert per jam pada Selasa (15/3) atau 20 kali lipat dari radiasi hari sebelumnya, meskipun angka rata-rata hanya 0,496 microsievert per jam. Bila dikuantivikasi sampai satu tahun, angka radiasi tertinggi di Tokyo sekitar 7 milisievert (mSv).
Kata radiasi selalu bermakna negatif ketika masuk ke dalam pikiran masyarakat. Apalagi jika disangkut pautkan dengan dampak yang ditimbulkan, yaitu kanker. Ahli Biologi dari Iran Javad Mortazavi dalam sebuah tulisannya di situs Ahli Lingkungan untuk Energi Nuklir (EFN) mengatakan bahwa manusia, binatang, dan tumbuhan telah terpapar oleh radiasi dari alam sejak kehidupan pertama terbentuk. Sinar matahari juga merupakan radiasi pula.
Sungguh menarik, kata Mortazavi, kehidupan justru mulai terbentuk dalam lingkungan dengan tingkat radiasi yang jauh lebih tinggi dari saat ini. Dosis radiasi efektif yang diterima manusia dari alam dan juga sumber radiasi buatan adalah sekitar 3 mSv per tahun yang termasuk radiasi alfa dari radon dan bahan turunannya. Sekitar 80 persen dosis radiasi itu (2,4 mSv) datang dari radiasi alam (background radiation) yang tingkat radiasinya sangat bervariasi di berbagai tempat.
Menurut Susilo Widodo, Kepala Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), di beberapa tempat tertentu, paparan radiasi alam bisa mencapai paparan 2 mSv per tahun. Misalnya di Mamuju, Sulawesi Barat, dan Karimunjawa. ''Ini karena struktur batu yang mungkin berisi uranium atau kalium yang bersifat radioaktif,'' kata doktor lulusan Teknik Nuklir Kyushu Unversity ini.
Beberapa tempat di dunia bahkan terpapar radiasi dalam dosis lebih tinggi lagi. Ramsar, sebuah kota di Iran yang terletak di tepian Laut Kaspia merupakan wilayah dengan radiasi alam tertinggi, bahkan beberapa kali lipat dari yang direkomendasikan untuk para pekerja radiasi di PLTN yaitu 20 mSv per tahun.
Angka radiasi di Ramsar yang ternyata berasal dari unsur radium yang dibawa keluar oleh mata air panas itu tercatat mencapai rata-rata 10,2 mSv per tahun dan bahkan dosis tertingginya tercatat 260 mSv per tahun. Kota Guarapari di Brasil menduduki peringkat kedua dengan angka radiasi mencapai 5,5 mSv per tahun dan radiasi tertinggi 35 mSv per tahun.
Di kota yang dihuni 80 ribu penduduk itu, radiasi datang dari pasir pantai yang kaya unsur torium. Puncak radiasi yang pernah tercatat di Guarapari mencapai 40 microsievert per jam atau 200 kali lipat dari radiasi rata-rata di berbagai wilayah lain di dunia.
Menurut catatan EFN, pengukuran tingkat radiasi alam yang normal di Amerika Serikat tercatat sekitar 0,4 mSv per tahun dengan radiasi maksimal dua kali lipatnya. Di Cina, radiasi alami terukur 0,54 mSv per tahun dengan angka maksimal 3 mSv. Di Jepang rata-rata terukur 0,43 mSv dan maksimal 1,26 mSv per tahun.
Radiasi tertinggi di Tokyo pascaledakan PLTN Fukushima Daiichi itu memang jauh lebih tinggi dari rata-rata di Jepang saat kondisi normal, namun masih kalah dari yang diterima warga Ramsar dan Guarapari. Menurut Susilo, Komisi Internasional untuk Perlindungan Radiasi (ICRP) memberi batas berhati-hati dengan angka 1 mSv per tahun. ''Tapi perlu diingat, ini dosis hati-hati saja, bukan dosis bahaya,'' tuturnya.
Susilo mengingatkan, radiasi sampai 50 mSv pun belum memberikan dampak negatif. Bahkan, paparan radiasi akumulatif sebesar 100 mSv belum akan menimbulkan gejala pada tubuh. Akan tetapi, paparan radiasi 250-500 mSv akan menimbulkan rasa mual dan berpengaruh pada limfa. Kemudian di angka 1.000–5.000 mSv adalah dosis mematikan yang bisa menyebabkan 50 persen kematian dan diatasnya bisa meninggal secara keseluruhan.
Selain radiasi alam, alat buatan manusia pun memancarkan radiasi. Kepala Bidang Pengkajian Kesehatan Badan Pengawas Tenaga Nulir (BAPETEN) Lely Safitri mengatakan, hampir semua peralatan elektronik memancarkan radiasi seperti televisi dan neon box, walau masih di bawah ambang yang diizinkan. Dia juga mengingatkan masyarakat terutama kaum perempuan untuk tidak khawatir terhadap isu bahwa telepon seluler dapat memicu kanker payudara. Pergunakanlah peralatan itu sewajarnya dan tidak berlebihan.
CT Scan yang bisa digunakan untuk memindai tubuh pasien di rumah sakit adalah penghasil radiasi terbesar. Menurut Warsito, staf khusus Menteri Riset dan Teknologi yang juga Direktur Ctech Lab Center for Tomography Research, radiasi yang dipancarkan CT Scan bisa mencapai 10 mSv.
Cuma ia mengingarkan paparan radiasi itu tergantung besarnya radiasi dan berapa lama manusia terpapar radiasi. CT Scan yang digunakan dalam waktu singkat dan sekali-kali tidak masalah. Beda persoalan ketika manusia berada di dalam CT Scan selama 50 jam. ''Paparannya bisa mencapai 500 mSv. Tapi siapa yang selama itu di dalam CT Scan?'' kata Warsito.
Alat kedua yang mengeluarkan paparan besar lainnya ialah X ray untuk memeriksa isi tas dan koper di bandara. Tapi ia mengingatkan, televisi dan monitor komputer bertabung juga memancarkan radiasi yang bisa mengganggu tubuh.
Bicara soal kanker, Warsito menjelaskan bahwa kanker bisa timbul jika paparan radiasi mencapai 1.000-5.000 mSv. ''Seperti sinar matahari yang bisa menyebabkan kanker kulit bagi orang Eropa itu karena (terpapar) lama dan langsung menerpa kulit,'' ucapnya.