REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Siksa menyiksa di zaman imperialisme dan kolonialisme adalah hal biasa. Di Jakarta, ketika masih bernama Batavia dan berada dibawah pemerintahaan kolonial, siksa menyiksa oleh penguasa acap kali terjadi. Balaikota --atau dalam bahasa Belanda disebut Stadhuis-- yang kini bernama Museum Sejarah Jakarta menjadi saksi bisu kejadian itu.
Sejarawan Betawi yang juga wartawan senior Republika, Alwi Shahab, memaparkan di bawah gedung museum terhadap penjara bawah tanah yang letaknya berjejer. Satu ruangan itu luasnya tak lebih dari dua kali tiga meter dengan tinggi satu setengah meter. Para narapidana dijejalkan di tempat yang gelap. "Mereka banyak yang mati sebelum perkaranya disidangkan akibat kondisi penjara dan penyiksaan di dalamnya," papar Abah, sapaan akrabnya, kepada 75 peserta ‘Melancong Bareng Abah: Jejak Arab di Batavia’, di Museum Sejarah Jakarta, Ahad (9/1).
Abah menjelaskan orang Belanda kala itu tidak peduli bagaimana kejamnya eksekusi hukuman yang diberikan, seperti siksaan, menyelar, dan menggantung, di Batavia. Hal itu telihat dari keberadaan alat-alat penyiksaan seperti bangku dan sekrup untuk menyakiti jari-jari. "Banyak dari mereka yang tidak bersalah harus dihukum," ungkap Abah.
Bahkan, Abah bercerita, pada abad ke-17 dan ke-18, di Balaikota terdapat penjara untuk wanita yang melakukan prostitusi dan pertengkaran dengan pasangan. Di penjara itu para wanita diwajibkan memintal benang untuk biaya hidupnya. "Itulah hukum tempo doeloe," katanya.