Jumat 24 Jan 2014 10:24 WIB

Yusril Ingin Cabut Uji Materi UU Pilpres

Yusril Ihza Mahendra
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Yusril Ihza Mahendra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan menteri Hukum dan HAM, Yusril Izha Mahendra mempertimbangkan apakah akan mencabut permohonan uji materi UU Pilpres.

Pertimbangan itu diambil Yusril menyusul putusan MK atas gugatan Effendi Ghazali dan kawan-kawan yang memiliki banyak kesamaan.

"Kini saya sedang pertimbangkan, apakah saya akan meneruskan permohonan saya atau tidak. Saya akan ambil keputusan setelah menimbang-nimbangnya dengan seksama," kata mantan Yusril di Jakarta, Jumat (24/1).

Pada Kamis (23/1) kemarin, MK memutuskan mengabulkan gugatan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden yang tidak serentak bertentangan dengan UUD. Namun, pemilu serentak baru bisa dilaksanakan pada 2019 mendatang.

Yusril menjelaskan, jika dibaca dari putusan MK intinya menyatakan seluruh pasal UU Pilpres yang dimohon uji dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak punya kekuatan hukum mengikat.

MK, kata Yusril, dalam pertimbangannya menyatakan pemilu serentak baru berlaku untuk Pemilu 2019 dan seterusnya, bukan untuk Pemilu 2014. Meski pasal-pasal UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengingat, namun pasal-pasal tersebut tetap sah digunakan untuk Pemilu 2014.

MK juga mengatakan dengan putusan ini, maka perlu perubahan UU Pileg maupun Pilpres untuk dilaksanakan tahun 2019 dan seterusnya.

"Itu disebabkan Efendi Ghazali dan kawan-kawan, tidak memberikan jalan keluar setelah pasal-pasal UU Pilpres yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, setelah dinyatakan bertentangan dan tidak punya kekuatan hukum mengikat, akan terjadi kevakuman hukum," kata Yusril.

Dalam gugatannya Yusril menunjukkan jalan keluar itu. Ia meminta MK menafsirkan secara langsung maksud pasal 6A ayat (2) dan Ps 22E UUD 1945.

"Kalau MK tafsirkan maksud pasal 6A ayat (2) parpol peserta pemilu mencalonkan pasangan capres sebelum Pileg, maka tak perlu UU lagi untuk melaksanakanya. Dan kalau MK tafsirkan pasal 22E ayat (1) bahwa pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun berarti pileg dan pilpres disatukan, tak perlu mengubah UU untuk melaksanakanya. Maka penyatuan Pileg dan Pilpres dapat dilaksanakan tahun 2014 ini juga," kata Yusril.

Namun apa boleh buat, MK sudah menambil keputusan rupanya sejak setahun lalu, meskipun baru hari ini putusannya dibacakan.

"Banyak orang mencurigai saya mengapa baru sekarang ajukan uji UU Pilpres dengan sejuta purbasangka. Seolah karena kini Hamdan yang jadi Ketua MK, maka Hamdan akan bantu saya. Mengapa tidak mencurigai Akil sebagai eks Golkar yang menahan-nahan pembacaan putusan permohonan Efendi Ghazali hampir setahun lamanya?" tanya Yusril.

Yusril juga mempertanyakan mengapa putusan itu baru dibaca sekarang ketika Pemilu 2014 sudah dekat ?.

Atas dasar itu dinyatakanlah putusan baru berlaku untuk Pemilu 2019.

Yusril juga menegaskan kalau permohonan yang diajukkanya banyak kesamaannya dengan yang diajukan Effendi Ghazali, mengapa MK tak mensatukan saja pembacaan putusan, agar kedua permohonan sama-sama jadi pertimbangan.

"Bagi saya banyak misteri dengan putusan MK ini. MK seolah ditekan oleh parpol-parpol besar agar pemilu serentak baru dilaksanakan tahun 2019," kata Yusril.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement