REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Era reformasi ditandai dengan hadirnya kemerdakaan pers. Adapun kemerdakaan pers yang sejatinya bebas bersuara, alangkah baiknya tak luput dari kaidah fikih jurnalistik yang menjaga aspek-aspek kemaslahan bersama.
Lumrah diketahui secara umum bahwa kebebasan pers bukanlah kebebasan mutlak yang tanpa batas. Batasan-batasan pers diperlukan bukan untuk mengebiri kebebasan ataupun kreativitas pers itu sendiri. Namun, batasan-batasan tersebut untuk menghormati kebebasan dan hak orang lain.
Dalam buku Dakwah dan Mencermati Peluangnya karya Qaris Tajuddin dan Hussein Ghani, Islam melarang pelecehan atau perbuatan yang menjatuhkan nama baik seseorang. Dakwah kerap disamakan dengan aktivitas jurnalisme, menyuarakan kebaikan dan informasi kepada khalayak luas.
Untuk itulah, sebagai penyampai kabar (da’i), pers diharapkan mampu mengindahkan etika dalam menyebarkan sebuah informasi. Pun juga, etika yang perlu diterapkan di saat informasi tersebut digali dan didapatkan.
Dalam buku Fikih Jurnalistik karya Faris Khoirul Anam, setidaknya terdapat beberapa catatan yang perlu dipikirkan secara matang. Yakni batasan-batasan bagi kebebasan berpikir dan menyuarakan informasi yang dipikirkan lebih jauh manfaat serta mudharatnya.
Hal-hal yang perlu dihindari misalnya adalah mengabarkan dari dasar berburuk sangka, memata-matai, gunjingan, orientasi untuk menyebarkan berita cabul, membocorkan rahasia negara, hingga berita-berita yang bernada fitnah.
Dalam Islam, setiap kaum Muslimin diberi hak untuk mengekspresikan dan mengekspos setiap peristiwa. Alasannya bisa berbagai macam, baik itu untuk memperjuangkan kehormatan dan kebaikan yang bersangkutan, maupun kebaikan untuk orang lain. Namun akan menjadi keliru apabila berita tersebut disebarkan untuk membela kebatilan serta kemunkaran.
Kebebasan pers adalah fakta, namun batasan menyuarakan yang benar adalah keharusan dan kewajiban insan pers itu sendiri. Dalam kumpulan artikel mengenai Hak Asasi Manusia dalam Islam karya Ashim Ahmad Ujailah disebutkan, batasan dalam kebebasan itu mencakup dua hal.
Pertama, usaha ketundukan pada jiwa dan akal, bukan pada hawa nafsu. Kedua, perasaan tulus bahwa di luar kebebasan yang dimilikinya terdapat hak orang lain yang juga menjadi kewajiban. Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, maka dikhawatirkan timbul hegemoni dan egoisme.
Sedangkan kebebasan dan egoisme merupakan dua kutub yang saling bertentangan. Dalam fikih jurnalistik, kebebasan berpendapat itu harus melingkupi perkara yang berhubungan dengan agama dan kebebasan yang melingkupi aspek di luar agama.
Di tengah banjirnya informasi serta mudahnya manusia mengakses sebuah berita, ada baiknya kita sebagai umat Muslim memfilter diri sedini mungkin. Apalagi kita tengah hidup pada zaman di mana berita hoaks acap kali menjadi trending yang mewarnai linimasa media sosial yang sejatinya paling dekat dengan warganet.
Berita hoaks sendiri sejatinya bukanlah produk jurnalistik. Hoaks juga merupakan tindakan kriminal yang telah diatur sedemikian rupa oleh negara. Untuk itu, agar produk berita yang dihasilkan insan pers memiliki kualitas isi dan juga memberi maslahat, ada baiknya pakem-pakem dalam kaidah fikih menjadi rujukan yang relevan di masa kini.
Dalam kitab Majmu’ah Buhuts Fiqhiyyah karya Abdul Karim Zaidan, terdapat beberapa kriteria batasan dalam kebebasan pers. Antara lain batasan umum yang mengikat semua hak yang bermuara pada kemasalahatan luas, bukan bertujuan pamer atau melecehkan dan membongkar aib orang lain demi keuntungan tertentu, menjunjung tinggi akidah dan akhlak, dan tidak melecehkan privasi orang lain.
Menurut beliau, kebebasan tidak boleh dibela lagi apabila sudah dimanfaatkan untuk hal-hal yang negatif dan cenderung desdruktif. Pers tidak boleh kehilangan kebebasan bersuara, namun pers juga tidak boleh menghilangkan suara dan hak khalayak ataupun narasumber yang berada dalam posisi terzalimi.