REPUBLIKA.CO.ID, CILACAP -- Beliau bukanlah sembarang kiai. Kedalaman ilmu agamanya diakui di kalangan ulama, khususnya dalam bidang ilmu fikih. Dengan ilmu yang dimilikinya, ia pun mampu menghasilkan keputusan hukum agama yang berkualitas tinggi.
Ia adalah Syekh Mas'ud, ulama Fikih asal Cilacap, Jawa Tengah. Syekh Mas’ud lahir pada 1926 di sebuah desa bernama Kawunganten. Namun, karena keterbatasan sumber sejarah tidak diketahui tanggal dan bulan lahirnya.
Ayahnya bernama Muhyidin, sedangkan ibunya adalah Sangadah. Ayahnya adaah seorang pendatang dari Purworejo yag kemudian menetap di Desa Kawunganten sebagai petani sekaligus menjadi seorang kiai yang mengajarkan agama Islam di Cilacap.
Saat masih kecil, Syekh Mas'ud belajar ilmu dasar agama kepada ayahnya langsung setiap malam selepas Maghrib. Ketika usianya mulai menginjak 10 tahun, ia dikirimkan ke Desa Sarwadadi yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Di sana, ia belajar membaca Alquran kepada Kiai Hanafi kurang lebih selama dua tahun.
Setelah mengfal Alquran, Mas'ud kemudian meneruskan belajarnya ke daerah Mojosari, Kebumen, Jawa Tengah. Di sana, ia sangat tekun mempelajari Kitab Alfiyah Ibnu Malik kepada Kiai Badrudin. Dalam kurun waktu empat tahun, ia pun mampu menghafal kitab syair tentang tata bahasa Arab tersebut.
Mas'ud memantapkan niatnya untuk mempelajari ilmu agama hingga ke Jawa Timur. Ia mondok ke Pondok Pesantren Al-Ikhsan Jampes, Kediri. Di pesantren tersebut, ia pun tidak menyia-nyiakan waktunya untuk menimba ilmu sedalam-dalamnya kepada Syekh Ikhsan bin Dahlan atau yang dikenal dengan Syekh Jampes.
Syekh Jampes adalah seorang ulama nusantara yang mendunia. Bahkan, beberapa karya syekh Jampes dijadikan buku wajib di Al Azhar Mesir dan beberapa perguruan tinggi lainnya, seperti Kitab Siraj At-Thalibin dan Minhaj Al-Abidin.
Di pondok pesantren Syekh Jampes, Mas'ud banyak mengaji kitab kuning atau kitab turats. Tujuh tahun kemudian, ia mulai tertarik untuk mempelajari ilmu Fikih dan Ilmu Balaghah, yaitu salah satu ilmu dalam bahasa Arab.
Setelah berguru kepada Syekh Jampes, Mas'ud melanjutkan pencarian ilmunya ke Pondok Pesantren Darul Hikam, Bendo, Pare, Kediri. Di pesantren ini, ia mendalami ilmu fikih, ushul fikih dan Qawaid Fikih. Di pesantren ini lah ia bertemu dengan KH Sahal Mahfud dari Kajen, Pati dan Kiai Sam’ani dari Jember.
Kiai Mas'ud menjadi santri Pesantren Darul Hikam selama 10 tahun. Di pesantren ini, ia juga kerap berdiskusi dengan Kiai Sahal dan Kiai Sam'ani. Ketiganya saling bertukar ilmu pengetahuan untuk menambah ilmu agamanya masing-masing.
Syekh Mas’ud mendalami ilmu agama di sejumlah pesantren yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur kurang lebih selama tiga puluh tahun, sehingga tak heran jika ia menjadi salah satu ulama yang dihormati karena keilmuannya.
Selain belajar di beberapa pesantren untuk jangka waktu yang cukup lama, Kiai Mas'ud juga melakukan tabarukan atau meminta berkah ke berbagai pesantren, seperti ke Pondok Pesantren Al-Anwar Rembang yang dipimpin KH Zubair dan ke Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur yang diasuh KH Wahid Hasyim.
Setelah menjadi santri kelana dari satu pesantren ke pesantren lainnya, Kiai Mas'ud pulang ke kampung halamannya sekitar 1960 untuk mengamalkan ilmu yang sudah didapatkannya. Setahun kemudian, Kiai Mas'rud menikah dengan Maysyaroh, putri KH. Suhaimi, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah, Benda, Sirampog, Brebes, Jawa Tengah. Dari pernikahannya ini, Kiai Mas'ud dikarunia lima orang anak.
Pada 1966, Kiai Mas’ud kemudian mendirikan Madrasah Wajib Belajar (MWB), setingkat sekolah dasar. Kiai Mas'ud mendirikan madrasah ini untuk memberikan kemudahan bagi anak-anak yang ingin mempelajari ilmu umum.
Setelah Kiai Mas’ud mendirikan madrasah tersebut, anak-anak di kampung halamannya tidak perlu lagi jauh-jauh sekolah ke daerah kota yang jaraknya puluhan meter. Madrasah ini bernaung dibawah Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu, pada 1968 Masehi, MWB berubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU).
Pada 1970, madrasah ini kemudian bergabung dengan Yayasan Al-Kaff, sehingga namanya pun diubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah Nurul Huda. Madrasah ini juga pernah berganti nama menjadi Sekolah Dasar Islam, tapi kemudian berubah lagi menjadi Madrasah Ibtidaiyah Sultan Agung sampai sekarang.