REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beragam ilmu dikuasainya. Karyanya menjadi bagian penting dalam peradaban Islam. Bahkan, sejumlah karyanya menjadi kajian para kaum intelektual. Namun, ketinggian ilmu tak membuatnya tinggi hati. Ia bisa menghargai perbedaan pendapat. Demikian, sosok Ibnu Qutaybah.
Ia bernama lengkap Abu Muhammad Abdullaah ibn Muslim ibn Qutaybah. Ia dikenal sebagai seorang sejarawan masa awal. Namun, ia pun cakap dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya. Ia menguasai sastra, tata bahasa, dan tentu saja ilmu agama.
Pada masanya, saat muncul kelompok rasionalis dalam pemikiran agama, ia dikelompokkan sebagai kaum tradisionalis. Namun, ia tak anti dengan pemikiran yang berbeda. Ia bisa memaklumi munculnya berbagai macam pemikiran karena dianggap sebagai bagian dari kekayaan pemikiran dalam Islam.
Ibnu Qutaybah lahir di Kufah, Irak, sekitar 828 Masehi. Ajal mendatanginya pada 889 Masehi. Ayahnya berasal dari Merv, yang dikenal pula sebagai salah satu pusat ilmu di dunia Islam. Setelah belajar tentang tradisi dan filologi atau ilmu tentang kata dan bahasa, ia menjadi hakim di Dinawar.
Tak berapa lama kemudian, Ibnu Qutaybah lebih memilih sebagai seorang penyebar ilmu. Ia mengajar di sejumlah tempat di Baghdad. Selain itu, ia menuliskan pemikiran-pemikirannya dalam sejumlah karya. Bahkan, beberapa karyanya dianggap sangat bernilai dan menjadi rujukan banyak orang.
Dalam kajian sejarah, Ibnu Qutaybah menghasilkan satu karya terkenal dengan judul Kitab al-Maa'rif. Pada abad ke-19, seorang ilmuwan bernama F Wiinstenfeld mengedit buku tersebut dan memberi judul Buku Pegangan Sejarah pada buku yang ditulis Ibnu Qutaybah itu.