Oleh Ferry Fathurokhman (Dosen FH Untirta, mahasiswa program doktoral Kanazawa Univeristy)
REPUBLIKA.CO.ID, Baru-baru ini kita dikejutkan oleh segerombol petugas kebersihan di sebuah taman kanak-kanak berstandar internasional yang dengan keji melakukan kejahatan kelamin atas seorang bocah berusia lima tahun (beberapa sumber lain menulis enam tahun).
Kejahatan kelamin yang saya maksud adalah kejahatan yang meliputi seluruh kejahatan seksual, mulai pelecehan seksual hingga pemerkosaan. Istilah kejahatan kelamin dalam tulisan ini merupakan terjemahan dari sex crime yang tereduksi makna kebiadabannya jika diterjemahkan sebagai kejahatan seksual karena terlalu umumnya istilah ini digunakan. Berdasarkan ini maka pelakunya pun lebih pantas dinamakan sebagai penjahat kelamin.
Kasus ini menjadi penting dikaji dengan serius mengingat pengulangan atas kejahatan kelamin kerap terjadi. Telusurilah dunia maya dan kita menemukan banyaknya kasus kejahatan kelamin di negeri ini, termasuk kasus Siswanto (Robot Gedek) pada 1996 dan Baekuni (Babe) tahun 2010.
Menurut data yang saya peroleh, angka kejahatan kelamin di Indonesia per Agustus 2012 yang dilakukan oleh anak sebagai pelaku menempati urutan pertama tertinggi (262 kasus), disusul pencurian (125 kasus) dan narkoba (93 kasus) di urutan ketiga.
Data singkat di atas menggambarkan betapa seriusnya kasus ini dan bahwa hampir tak ada tempat aman untuk anak, bahkan taman kanak-kanak, taman yang paling indah, menjadi tempat kejadian perkara terkini. Kasus ini bisa dikaji dari berbagai aspek, tapi dalam hal ini saya akan batasi pada kajian hukum yang mungkin bisa menjadi pertimbangan untuk kita terapkan ke depannya.
Yang jelas, perumus asas legalitas, Paul Johann Anselm Fuerbach, tampaknya gagal meramalkan ajaran psychologische zwang (paksaan psikis). Ia menyarankan agar hukum dituliskan sehingga ada kepastian hukum dan orang bisa melihat hukuman apa yang diterima bila suatu perbuatan pidana dilakukan, dengan demikian orang akan menghindari perbuatan pidana tersebut.
Ajaran ini tampaknya kandas di Indonesia, khususnya bagi para paedofil. Menghilangkan kejahatan seratus persen memang hal yang mustahil, tapi maraknya angka kejahatan--dalam hal ini kejahatan kelamin--menandakan ada masalah pada negara tersebut. Salah satu kecurigaannya adalah negara, melalui hukum, gagal memberikan efek jera pada pelaku juga orang lain yang berpotensi menjadi pelaku.
Efek jera
Sebagai negara mayoritas Muslim terbesar di dunia, penggunaan hukum pidana Islam sebenarnya lebih masuk akal. Apalagi dari sisi sejarah, terdapat bukti-bukti akademis hukum pidana Islam pernah berlaku sebelum hukum Eropa datang dan menggantikannya (lihat misalnya disertasi Dinar Boontarm, University of Hull, United Kingdom yang mengkaji hukum pidana Islam di era Kesultanan Banten).
Dalam hukum pidana Islam, kejahatan kelamin telah diatur jelas, termasuk berbagai cabang penyimpangannya dari sodomi (liwath) hingga menyetubuhi mayat atau nekrofili--sebagaimana yang dilakukan Robot Gedek pada korbannya--telah dikaji oleh para ahli fikih.
Pada dasarnya hukuman bagi para penjahat kelamin adalah dicambuk seratus kali hingga hukuman mati, tergantung pada status penjahat kelamin apakah belum kawin (ghair muhshon) ataukah sudah kawin (muhshon). Tapi, persoalannya kualitas keislaman kita masih perlu diuji, banyaknya Muslim di Indonesia masih seperti buih di lautan dengan kualitas seadanya.
Maka sementara, mungkin kita bisa melihat bagaimana Amerika Serikat menangani para penjahat kelamin. Ini bukan berarti hukum di Amerika sempurna, konflik kepentingan dalam penegakan hukum di sana juga terjadi. Tapi, dalam hal penanganan penjahat kelamin, hukum AS layak untuk dikaji.
Megan's Law adalah undang-undang federal yang disahkan kongres pada 1996 yang menjadi dasar dimuatnya data para penjahat kelamin yang dapat diakses warga. UU ini dipicu kejadian tragis di New Jersey. Megan Kanka, gadis kecil tujuh tahun diperkosa dan dibunuh tetangganya. Belakangan diketahui pelakunya punya catatan kriminal atas kejahatan kelamin. Dari peristiwa ini muncul kesadaran bahwa sekiranya mereka diberi tahu ada mantan penjahat kelamin di lingkungannya, tentu mereka akan lebih waspada.
Tahun 1994, parlemen New Jersey mengesahkan Megan's Law dan sejak menjadi undang-undang federal tahun 1996, kini seluruh negara bagian di AS telah mengesahkan Megan's Law. Dengan Megan's Law para penjahat kelamin teregistrasi dan dapat diakses di tiap negara bagian melaui website Federal Bureau of Investigation (http:www.fbi.gov/) pada kanal scams and safety atau melaui website otoritas negara bagian masing-masing.
Megan's Law efektif bekerja pascapemidanaan. Para penjahat kelamin yang selesai menjalani hukuman diregistrasi sehingga keberadaannya selalu diketahui dan dimuat dalam website. Dengan demikian warga bisa memeriksa tetangga barunya apakah ia mantan penjahat kelamin atau bukan. Dalam konteks efek jera, Megan's Law membuat calon pelaku kejahatan kelamin berpikir berulang kali untuk melakukan perbuatan biadabnya. Sebab, namanya akan terabadikan meskipun ia telah selesai menjalani hukuman dan berpindah ke tempat lain.
Tiap negara bagian di AS memiliki detail aturan dan prosedur pengaksesan informasi yang berbeda-beda atas Megan's Law yang diberlakukan. Potensi penyalahgunaan informasi juga diatur, sehingga orang yang menyalahgunakan informasi data penjahat kelamin untuk pemerasan misalnya, diatur sebagai perbuatan yang dapat dipidana.
Sisi lain Megan's Law
Tentu pada sisi korban, Megan's Law baik diterapkan melindungi anak-anak dari potensi pengulangan kejahatan kelamin. Tapi, dalam konteks hukum pidana, ini menjadi paradoks, mengingat salah satu tujuan pemidanaan adalah merehabilitasi pelaku kejahatan sehingga ke depannya ia bisa kembali diterima di masyarakat.
Megan's Law juga memiliki kelemahan sebagaimana dituliskan sebelumnya, ia efektif bekerja pascapemidanaan dan tidak dirancang untuk mendeteksi penjahat kelamin perdana (first-time sex offender). Ini artinya anak-anak tetap terancam kejahatan kelamin para homoseksual penjahat kelamin seperti yang terjadi di Taman Kanak-Kanak JIS.
Jika memang kita serius menangani para penjahat kelamin dan keamanan anak-anak kita, undang-undang semacam Megan's Law tampaknya layak dikaji dan dipertimbangkan. Tentu akan banyak pertimbangan dan detail yang harus dibahas di dalamnya, mengingat Megan's Law di tiap negara bagian di Amerika pun berbeda-beda pada tataran teknisnya.