Oleh: Dr. H. Muchlis M Hanafi, Kepala Bidang Pengkajian Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMA)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam waktu dekat bangsa Indonsia merayakan Idul Adha 1436 Hijriah, salah satu hari raya yang disyariatkan dalam ajaran Islam. Ada sekian hari besar yang dirayakan umat Islam, tetapi Idul Fitri dan Idul Adha adalah yang terbesar.
Pada kedua hari itu umat Islam dibolehkan untuk bergembira dan bersukaria, bahkan Rasulullah sallallahu alaihi wassalam (saw.) memperkenankan sang istri, Aisyah ra, untuk menikmati tabuhan dan genderang yang mengiringi nyanyian dan tarian wanita sahaya di rumahnya; satu hal yang membuat Abu Bakar marah karena tidak lazim, tetapi kemudian tetap dibiarkan oleh Nabi Muhammad saw.
Kegembiraan saat hari raya tidak hanya dinikmati oleh orang-orang yang mampu, tetapi melalui kegiatan sedekah, zakat, dan kurban diharapkan kegembiraan itu juga dirasakan kaum papa yang tidak punya. Melalui kewajiban zakat dan sunah berkurban, umat Islam diminta berbagi kegembiraan di saat hari raya. Dengan semangat berbagi dan solidaritas akan timbul kebersamaan dalam mengagungkan kebesaran asma Allah.
Hari raya memang identik dengan kegembiraan, kemenangan, kebaikan, dan kebahagiaan. Kata id yang berarti hari raya, secara bahasa menggambarkan suatu proses yang berulang kembali pada masa atau waktu tertentu. Dalam sejarah peradaban manusia, lema ini biasa digunakan untuk menentukan waktu panen, menuai hasil pertanian, atau juga untuk menggambarkan saat menikmati hidangan makanan.
Makna hari raya (id) yang semula terbatas pada kenikmatan duniawai, di dalam agama diperluas dengan nuansa spiritual dan religius.
Apa pun dan bagaimanapun cara manusia merayakan hari raya, yang jelas kebaikan dan keselamatan adalah yang diinginkan oleh setiap yang merayakannya. Tentunya tidak hanya yang bersifat fisik dan materiil duniawi, tetapi yang diharapkan lebih jauh melampaui kebaikan dan keselamatan pikiran dan rohani.
Kebahagiaan adalah kondisi pada saat seseorang merasakan kepuasan jiwa/ batin, dan terus berlanjut sampai bagian jiwa yang terdalam. Dia ibarat seseorang yang melihat sekuntum bunga yang indah. Dia tidak hanya dapat merasakan keindahan bunga itu, tetapi dia juga dapat merasakan makna lain di balik itu, yaitu simbol dan isyarat menuju puncak kesempurnaan dan keindahan di balik itu semua.
Kebahagiaan berbeda dengan kelezatan dan kesenangan. Seseorang yang bergelimangan harta kekayaan belum tentu bahagia. Sebaliknya, seseorang dengan penghasilan rendah dapat merasakan kebahagiaan yang tiada batas. Jika ada manusia memperoleh kesenangan dengan cara melarikan diri dari himpitan kesusahan, seperti ke dunia hiburan dan lain sebagainya, tetapi itu hanya sesaat.
Kebahagiaan adalah ketenangan jiwa, atau kenikmatan yang dirasakan dalam diri seseorang. Hal itu hanya dapat diperoleh dengan mempersiapkan jiwa melalui sejumlah amalan. Kebahagiaan seseorang dalam hidup berjalan seiring dengan kehidupannya yang diisi dengan amalam/aktivitas yang berkualitas.
Keagungan Tuhan
Dengan demikian, haji merupakan ibadah yang penuh perhitungan dan menuntut kecermatan, bukan hanya pada ruang dan waktu, tetapi juga kalbu. Hanya dengan itu seseorang yang berhaji akan sampai kepada tujuan mulia berhaji, yaitu musy?hadah; merasakan kehadiran Tuhan dalam jiwanya.
Bila itu dia telah peroleh, akan tersingkap segala rahasia keagungan Tuhan sehingga dirinya menyatu dan larut secara total dalam kebesaran Tuhan. Itulah yang disebut muk?syafah.
Pada tingkat muk'syafah, seseorang akan melihat dengan mata hati yang dikendalikan cahaya Ilahi. Demikian pula, pendengaran dan perilaku lainnya, semuanya terkendali dalam bimbingan Ilahi. Jika demikian halnya, sudah pasti yang ditebar adalah kebaikan.
Untuk mencapai itu semua diperlukan kesungguhan dan usaha keras, yang di dalam Alquran diungkapkan dengan kata mujhadah. Oleh karena itu, di penghujung surat haji Allah berfirman: Dan berusaha keraslah kamu pada jalan Allah dengan yang sebenar-benarnya. (Q.S. Al-Hajj : 78) Penutup surah ini mengesankan, setiap tujuan mulia harus selalu disertai dengan usaha keras. Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha keras hamba-Nya.
Dan orang-orang yang berusaha keras untuk (mencarikeridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al-Ankabut : 69)
Prosesi ibadah haji yang menuntut pengorbanan itu diakhiri dengan ungkapan syukur kepada Allah Swt. yang dibuktikan dengan mempersembahkan daging kurban kepada fakir dan miskin. Kurban adalah bukti syukur dan takwa. Sejak ribuan tahun lalu, manusia telah mengenal yang namanya pengorbanan.
Dalam sejarah peradaban manusia, termasuk agama-agama sebelum Islam, kurban dikenal sebagai persembahan makanan kepada Tuhan atau perantara hamba dengan Tuhannya, dan juga tebusan atas kesalahan yang dilakukan manusia. Dengan kata lain, kurban dipersembahkan untuk menebus murka Tuhan.
Melalui ajaran Nabi Ibrahim as yang substansinya sejalan dengan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., kurban diperkenalkan dalam bentuk lain, yaitu suatu bentuk ketaatan, ketakwaan dan rasa syukur kepada Yang Mahakuasa.
Oleh karena itu, ibadah kurban dalam Islam berdimensi ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus. Yang diharapkan Tuhan hanyalah ketakwaan hati, sementara daging hasil sembelihan menjadi milik fakir dan miskin.
Dalam suasana seperti ini penting merajut kembali kebersamaan dan solidaritas antarsesama.
Dengan kebersamaan bisa dipertahankan identitas diri yang membuat bangsa Indonesia disegani bangsa lain sepanjang masa. Semoga dengan semangat hari raya dapat dibangun kebersamaan dengan kemajemukan yang ada menuju masyarakat yang lebih dewasa, cerdas, dan bijak.
Bangsa ini sudah terlampau dibuat letih oleh perbedaan, bahkan pertikaian, antarpenganut agama-agama dan antarumat dalam satu agama. Kemajemukan seyogianya memperkaya khazanah budaya dan perbedaan sejatinya memberikan berbagai alternatif kemudahaan.
Hanya dengan kearifan dalam memahami pesan-pesan agama dan membaca tanda-tanda zaman kita meraih hari esok yang lebih cerah dan mencerahkan. Wallahualam bissawab.