REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung (Pemerhati Masalah Sosial)
Saya bergidik membaca tulisan Grienda Qomara, alumnus Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga. Tulisan yang dimuat media ini, bertajuk: Pengangguran Sarjana. Republika Online, 10 Juli 2016.
Qomara menulis, pengangguran terbanyak di Indonesia bukan lulusan SMA ke bawah, melainkan lulusan perguruan tinggi. Penganggur paling tinggi merupakan lulusan universitas bergelar S-1 sebanyak 495.143 orang. Para lulusannya seperti buih di lautan. Banyak tapi tak berkualitas. Dari delapan sampai 10 perusahaan di Indonesia, kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi yang siap pakai.
Ini potret tsunami pendidikan. Bencana besar juga terlihat dari sistem pendidikan saat ini. Walau berkali-kali diprotes untuk diubah, tetap saja dibiarkan. Belum selesai kurikulum ini, dibuat kurikulum itu. Begitu seterusnya. Bahkan, guru dibuat repot mengurus administrasi. Bahkan ada yang diteror masuk bui.
Output anak didik pun menghasilkan generasi malas baca, semaunya, mental tempe, permisif, berpola hidup instan. Enggan menerima terpaan poses hidup. Takut hadapi ujian nasional, diakali bunuh diri. Jenuh tekanan di rumah dan sekolah, lari ke jalanan. Eh mencicipi narkoba, seks bebas, aneka kenakalan, dan kriminalitas. Lalu mereka malah disalahkan, bukan dirangkul, diayomi, dibenahi.
Sedang generasi yang berprestasi hanya diberi apresiasi sekadarnya, sekaligus dijadikan alat masuk media. Begitu pula sistem pendidikan perguruan tinggi yang malah mencipta pengangguran sarjana. Mahasiswa sekarang, maaf, terlihat lebih senang mengunjungi mall atau studio tv. Bertepuk tangan ria masuk layar kaca, mengikuti instruksi floor director televisi swasta. Perjuangan aksinya tidak tuntas.
Dari tulisan Qamara dan fakta-fakta lapangan menunjukkan: bukanlah isapan jempol jika perusakan sistem pendidikan terus terjadi. Mengancam masa depan generasi, utamanya ancaman ketahanan sosial. Ancaman sistemik dengan kekuatan tak bertepi. Entah siapa yang mampu melawannya.