Ahad 20 Nov 2016 11:28 WIB

Genderang Islamofobia

Harri Ash Shiddiqie
Harri Ash Shiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Harri Ash Shiddiqie *)

Trump menang. Orang-orang yang tidak suka Islam menghirup kesegaran baru, mendapat ruang baru.  Genderang di tabuh keras-keras, gemanya menjalar ke mana-mana. Islamophobia meningkat  bukan hanya di Amerika  yang lalu ditiru di Eropa, nantinya ia berkeliaran di negeri Timur Tengah sampai di Pasifik sana.

Islamopohobia adalah rasa takut dan benci terhadap Islam sekaligus kepada  Muslim. Kebencian itu justru di “produk”, bukan sejak WTC roboh, juga bukan sejak Perang Salib, tetapi karena Islamophobia menjadi lahan bisnis yang menguntungkan.  Bila ada kejahatan yang pelakunya dicurigai Muslim, maka reportase, wawancara, analisis, dan kronologis bersuasana Islamophobia menyedot penonton yang iklannya menghasilkan uang.  Laporan CAIR dan University of California  menyatakan, kelompok  yang mempromosikan Islamophobia di AS telah menghabiskan 206 juta dolar Amerika antara tahun 2008 sampai 2013.

Reza Aslan seorang  intelektual publik keagamaan Amerika mengungkap : "Islamophobia menjadi bagian kehidupan.  Di stasiun, di perempatan, bahkan di bus-bus kota ada provokasi mengharapkan kekerasan terhadap Muslim. Bukan argumentatif, tapi berharap."

***

Virus Islamophobia sudah ada sejak jaman Rasulullah. Di Makkah virus menjangkiti musyrikin. Hijrah di Madinah, virus Islamophobia menjangkiti Yahudi yang selalu mempermainkan kabilah Aus dan Khazraj. Intrik dikembangkan sehingga kedua kabilah itu selalu bermusuhan lalu berperang, Yahudi menarik keuntungan karena permusuhan dan perang membutuhkan uang. Riba Yahudi menari-nari di sana sambil mencekik. Bukan hanya bisnis peralatan perang, wilayah pertanian dan hasilnya akhirnya digenggam Yahudi.

Islam datang,  membawa keteguhan keyakinan, persaudaraan dan keadilan.  Berdasar keadilan riba dilarang. Persaudaraan membuat  Yahudi tak bisa mengadu domba. Keyakinan  Iman dan Islam yang di bawa Rasulullah menggoyahkan keyakinan Yahudi.

Hari ini, setelah ribuan tahun bumi melintas langit, virus Islamophobia  semakin meruyak. Kejahatan kebencian yang dilakukannya lebih brutal. Di tengah khalayak ramai, jilbab ditarik.  Ada kontes menggambar Nabi Muhammad.

Ironisnya, Islamophobia tidak hanya menjangkiti masyarakat non-Muslim, ia juga menjangkiti kaum Muslimin. Di Turki, pernah berlangsung selama puluhan tahun pelarangan jilbab bagi mahasiswa atau pegawai pemerintah.

Di tanah Jawa, Amangkurat I membunuh ulama, inipun Islamophobia.  Itu karena politik, khawatir melakukan pemberontakan yang meruntuhkan kekuasaan, lebih dari 5.000  jiwa terdiri dari ulama, istri,  anak-anaknya serta santri dibunuh di alun-alun ketika hari terang benderang.

Belanda juga mengidap Islamophobia,  mereka tahu Islam adalah kekuatan yang sulit digambarkan batas-batasnya. Mereka mengalami Perang Paderi, Perang Diponegoro,  sampai Aceh yang sulit ditundukkan.

***

Kapitalis barat pasti sulit mengerti pikiran dan hati seorang Muslim. Pasti. Mereka berpikir, hanya kebodohan yang membuat Muslim mencintai agama sedemikian kokoh, sampai-sampai mengorbankan segala apa yang dimilikinya. Islamophobia berkomentar: Itu kebodohan primitif, irasional, keras, tak bisa menyesuaikan dengan peradaban. Berkorban membela Islam adalah tindakan  tidak produktif, tidak menghasilkan uang, tidak menambah kekuasaan. Bukankah lebih baik berjuang mengentaskan kemiskinan,  berdemo tentang penanggulangan korupsi,  berteriak lantang tentang perbaikan fasilitas kesehatan juga tersedianya pangan dan papan.

Kapitalis barat pasti  tidak tahu bahwa seorang Muslim memiliki kebutuhan yang berbeda dengan mereka. Ada kebutuhan primer, sekunder, dan tahsiniyah. Abdul Wahhab Khallaf, guru besar Al Azhar, dalam buku monumentalnya “Ushul Fikih” menyatakan, bahwa tujuan tercapainya kebaikan dunia akhirat seorang Muslim tergantung pada terjaganya kebutuhan primer yang urutannya: agama, jiwa, akal kehormatan, dan harta.   

Muslim menghayati tentang jiwa yang harus dijaga, keberlangsungan keturunan dilakukan dengan nikah, agar terjamin hidupnya diwajibkan makan minum yang halal. Demikian juga dengan urutan berikutnya berupa terjaganya akal, kehormatan sampai harta yang bisa dicari dengan bermuamalah (berdagang misalnya).

Urutan itu menunjukkan,  menyampaikan dan meneguhi tegaknya agama menempati urutan pertama.  Seorang muslim merasa tidak selamat, merasa bersalah ketika agamanya di nista, dirobohkan, direndahkan, dan dirinya diam saja.  Ada kemungkaran ,tetapi hatinya diam, mulutnya diam, tangannya juga diam. Sikap diam itu hanya membuat satu pintu yang terbuka : Neraka !

***

Islamophobia Turki menunjukkan adanya islamophobia pada diri seorang Muslim. Bagaimana dengan kita?

Internet, TV, mobil, HP, adalah sebagian budaya barat yang mengalir dalam keseharian darah kita. Jangan-jangan kita sudah terjangkiti virus Islamophobia, meski mungkin tidak separah kartunis Charlie Hebdo.  Bibit Islamophobia yang ditanam setan membuat kita tidak menyukai seorang muslim yang ada di sekitar kita, mungkin karena sikapnya yang sembrono, bicaranya menggurui.

Mungkin juga kita tidak suka lelaki berjenggot atau perempuan berjilbab. Ketika orang tersebut beraktivitas dakwah bersama teman-temannya, kita mencemooh, membenci dakwahnya, membenci orang-orang itu yang beraktivitas membela Islam. Berikutnya, setan cuma mendorong kecil dan kita menggelinding menjadi sosok yang tidak menyukai Islam, membenci Islam.  

Kita membaca syahadat, tapi membenci islam. Masihkah kita seorang Muslim?

Ya, Allah, lindungi kami dari kemunafikan, kekafiran,  kejahatan dan keburukan. Tunjukkan kami ke jalan yang lurus. Amin.

*) Penulis dosen di Jember

 
 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement