Senin 03 Apr 2017 06:20 WIB

Kesamaan Politik dan Ekonomi

Imam Sugema
Foto: Darmawan/Republika
Imam Sugema

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Iman Sugema

Kalau Anda perhatikan perkembangan politik akhir-akhir ini, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa politik dalam negeri sedang mengalami ujian berat dimana isu agama dan kebinekaan secara diametral dipertentangkan. Agama dijadikan instrument untuk pemenangan dengan melabrak sendi-sendi kebinekaan.

Di lain pihak, kita menyaksikan betapa orang berbeda agama bisa dengan nyaman melakukan transaksi ekonomi. Tak pernah ditanya agama, ataupun kewarganegaraan. Yang penting kedua belah pihak sepakat untuk bertransaksi secara adil.

Tapi, tahukah Anda bahwa sistem yang berlaku di bidang ekonomi dan politik kurang lebih mirip, jika tak bisa dikatakan sama persis. Keduanya berbicara mengenai persaingan atau perseteruan. Selalu ada yang menang dan kalah.

Keduanya juga menuntut pengelolaan persaingan dengan batasan sumberdaya yang dimiliki. Di dunia politik, sumberdaya uang dan keorganisasian selalu menjadi kendala. Di bidang bisnis, kepiawaian mengelola sumberdaya secara efisien menjadi penentu daya saing.

Tentunya, banyak hal lain yang bisa saya sebutkan satu persatu untuk menunjukan kesamaan keduanya. Tetapi argument intinya bukan di situ. Yang akan saya ulas di sini adalah apakah hukum ekonomi bisa dipakai untuk menerangkan apa yang akan terjadi dengan situasi politik selanjutnya. Karena keduanya memiliki banyak kemiripan, maka saya bisa katakan bahwa hukum ekonomi dapat menerangkan sebagian besar fenomena politik yang akan terjadi di DKI Jakarta.

Kalau Anda membeli barang tentunya selain membeli merek (brand) yang anda sukai, maka sebagai konsumen Anda akan minta diyakinkan bahwa barang tersebut asli atau tidak. Kalau Anda tidak peduli dengan kualitas barang, itu sama saja dengan konsumen yang ceroboh dan mudah untuk ditipu. Konsumen pada umumnya tak mau ditipu oleh penjual.

Dalam politik pilkada, Islam atau agama adalah merek yang terlihat dari bungkusan. Masyarakat Jakarta adalah pemilih cerdas. Mereka tidak akan mau tertipu dengan bungkusan semata. Mereka akan mempertanyakan apakah sang calon betul-betul memiliki niat untuk memperjuangkan kepentingan agama secara genuine atau hanya menjadikan agama sebagai instrument meraih kemenangan. Setelah itu kemudian agama ditanggalkan.

Persoalannya, sudah terlalu banyak bukti politisi dan partai politik Islam yang hanya menjadikan agama sebagai hiasan politik. Dalam praktiknya, kepentingan umat kemudian sering dikalahkan oleh kepentingan pribadi dan golongan. Praktik korupsi dan berbagai tindak kejahatan sering melanda parpol Islam. Jadi, antara bungkusan dengan isi tidak nyambung.

Tentunya, di hari-hari mendatang akan terjadi persaingan untuk memperebutkan persepsi tentang siapa yang lebih Islami. Siapa juga yang lebih bisa memperjuangkan kepentingan umat. Siapa pula yang dapat secara konsisten mewujudkan peradaban Islam yang lebih maju.

Pengalaman di negara-negara lainnya juga mungkin akan menjadi referensi bagi pemilih. Tidak sedikit pihak yang mengibarkan panji Islam ternyata adalah pihak yang justru menghancurkan peradaban Islam. Kita semua tahu bagaimana ISIS dan Bokoharam justru mencoreng muka Islam. Poin pentingnya adalah bahwa karena penduduk Jakarta sudah lebih melek informasi, maka mereka akan sangat berhati-hati dalam memilih.

Kita tidak sedang membicarakan tentang keabsahan ayat suci atau hadis. Yang akan menentukan pilihan pada putaran kedua adalah persepsi tentang realitas yang akan terjadi, jika memilih pasangan calon tertentu. Persepsi itu terbentuk berdasarkan kecenderungan politik sebelumnya dan pengalaman di negara lain. Harap diingat bahwa pilihan akan sangat menentukan masa depan Jakarta akan seperti apa dalam kurun waktu lima tahun berikutnya.

Ketika Anda membeli barang, salah satu yang dapat membantu Anda dalam memilih adalah tenaga penjualnya. Tenaga penjual harus cocok dengan jenis produk yang ditawarkan. Pernahkah Anda menjumpai tenaga penjual kosmetik yang penampilannya acak-acakan?

Begitupun di dunia politik sekarang ini. Tampilan Islam politik hari ini lebih diwakili oleh tenaga penjual politik garis keras, radikal, dan jauh dari norma yang berlaku selama ini di kalalangan Muslim Jakarta. Beberapa figur radikal justru sering mendominasi percaturan politik praktis Islam. Islam kultural bahkan hampir tidak nampak pergerakannya di putaran pertama.

Ini merupakan fenomena yang cukup menarik untuk kita perhatikan. Kalau rivalitas antara komponen radikal dan kultural dalam beberapa hari kedepan, maka pemilih Jakarta akan disuguhkan pada sebuah kontestasi ideologis diantara komponen di dalam Islam. Penentu kemenangan pilkada tentunya adalah seberapa jauh perebutan suara diantara komponen radikal dan kultural. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi dalam tiga minggu ke depan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement