REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Adery Ardhan Saputro SH *)
Mahkamah Agung (MA) sebagai pilar penjaga tatanan hukum Indonesia telah membawa kegaduhan bagi sistem demokrasi saat ini. Kegaduhan tergambar ketika para anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang terhormat saling serang pada saat rapat paripurna Selasa (3/4).
Kekisruhan ini berangkat dari dibatalkannya Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017 oleh MA. Dalam beleid itu diatur pembatasan jabatan pimpinan DPD yang sebelumnya lima tahun menjadi dua tahun enam bulan. Pembatalan peraturan tersebut mempunyai implikasi terhadap pimpinan DPD yang ada pada periode ini. Pimpinan yang dilantik pada 2014 itu dapat memegang jabatan pimpinan sampai dengan 2019.
Merujuk pada pertimbangan Putusan Nomor 20 P/HUM/2017, MA berpendapat “masa jabatan pimpinan DPD juga diterapkan sama dengan masa jabatan lembaga tinggi lain”. Bahkan MA juga menyatakan “tidak sepatutnya apabila jabatan pimpinan DPD tersebut dipergilirkan yang dapat menimbulkan kesan berbagi kekuasaan”. Jika dipahami dari kerangka berpikir putusan a quo, maka MA tidak menginginkan adanya perubahan kembali atas susunan pimpinan DPD yang telah ada saat ini.
Namun, putusan tersebut menimbulkan perdebatan di antara anggota DPD. Penyebabnya terdapat beberapa kesalahan pengetikan yang ada pada putusan a quo. Akibatnya, MA buru-buru memberikan klarifikasi bahwa sekalipun terdapat kesalahan dalam pengetikan, tetapi tidak mengubah substansi dari putusan tersebut.
Pada akhirnya DPD menyepakati untuk mencabut Peraturan Tatib Nomor 1 Tahun 2017 dan menggantinya dengan Peraturan Tatib Nomor 3 Tahun 2017. Sehingga apabila dilihat secara kasat mata, seolah-olah DPD tunduk dengan putusan MA a quo.
Akan tetapi, dagelan dari intrik politik ini muncul ketika tiba-tiba DPD melakukan pengocokan ulang atas susunan pimpinan DPD, yang sebenarnya bertentangan dengan maksud dan tujuan dibatalkannya peraturan Tatib Nomor 1 Tahun 2017 untuk tidak menggilir jabatan pimpinan DPD. Keanehan semakin muncul dengan kehadiran Hakim Agung Suwardi (Wakil Ketua Non Yudisial MA) untuk bersedia menyumpah Oesman Sapta Odang (Ketua DPD terpilih). Kehadiran tersebut menggambarkan bahwa MA secara eksplisit merestui pengangkatan ketua DPD yang baru.
Restu yang diberikan oleh MA terhadap pencalonan ketua DPD memperlihatkan MA tidak mempunyai pendirian yang jelas dalam menyikapi kasus ini. Di satu sisi, MA dalam pertimbangannya mengatakan pimpinan DPD tidak dapat digilir karena menimbulkan kesan berbagi kekuasaan. Akan tetapi pada kesempatan yang berbeda perwakilan dari MA bersedia untuk menyumpah ketua DPD yang terpilih.
Logika seperti apa yang sebenarnya dibangun oleh MA pada kasus ini? Logika yang aneh semakin terlihat ketika juru bicara MAHakim Agung Suhadi mengatakan alasan MA bersedia untuk menyumpah ketua DPD dikarenakan DPD telah mempunyai itikad baik untuk mematuhi putusan MA dengan telah mencabut Peraturan Tatib Nomor 1 Tahun 2017 dan menggantinya dengan Peraturan Tatib Nomor 3 Tahun 2017.
Pertanyaannya menjadi, apakah dengan semudah mencabut peraturan yang sebelumnya kemudian menggantinya peraturan yang baru, itu sudah dianggap mematuhi putusan MA? Sedangkan bagaimana dengan pertimbangan dalam putusan yang jelas menegaskan tidak dapat digilirnya jabatan ketua DPD? Apakah itu bukan bagian dari putusan pula yang seharusnya dipatuhi oleh para pihak?
Jika logika tersebut yang dibangun maka apabila terdapat undang-undang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, cukup menggantinya dengan yang baru, tanpa perlu mengubah substansi dan kontennya. Pandangan ini merupakan pemahaman yang sangat keliru, jika pembatalan peraturan perundang-undangan hanya dilihat dari bungkus luarnya, bukan konten dari peraturan tersebut.
Selain itu, inkonsistensi ini menimbulkan berbagai pertanyaan. MA yang mempunyai tugas untuk menjaga kesatuan hukum ternyata melakukan kesalahan untuk kesekian kalinya dalam menjaga konsistensi. Padahal ketika hukum ditegakkan secara inkonsisten akan berimplikasi hilangnya kepastian hukum sekaligus merusak cita-cita dari MA sebagai lembaga yang kredibel dan dipercaya oleh masyarakat.
Terakhir kata, semoga kemurahan hati dari pimpinan MA untuk hadir dalam penyumpahan ketua DPD bukn didasari oleh kepentingan-kepentingan politik/politik transaksional. Ini mengingat RUU Jabatan Hakim masih bergulir di DPR saat ini. Jika iya, maka sudah selayaknya suku kata “agung” pada frasa Mahkamah Agung segera dicopot.
*) Peneliti pada Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia