Senin 29 May 2017 12:00 WIB

Melihat Pancasila dengan Lebih Terbuka

Red: M.Iqbal
Prajurit TNI dan Polri mengarak patung Garuda Pancasila dalam parade Solidaritas Kebangsaan dan Kirab Pancasila di Lapangan Puputan Margarana, Denpasar, Jumat (26/5).
Foto: Antara/Nyoman Budhiana
Prajurit TNI dan Polri mengarak patung Garuda Pancasila dalam parade Solidaritas Kebangsaan dan Kirab Pancasila di Lapangan Puputan Margarana, Denpasar, Jumat (26/5).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Catur Alfath Satriya *)

 

Pasca putusan kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, suasana ibu kota kembali memanas. Beberapa pihak merasa bahwa putusan tersebut tidak mencerminkan keadilan. Sebab, putusan tersebut dinilai sarat dengan tekanan politik yang dilakukan oleh beberapa organisasi massa.

Sebaliknya, pihak yang merasa kecewa memutuskan menyelenggarakan aksi di beberapa wilayah di Indonesia. Aksi ini ditandai dengan lilin yang dinyalakan disertai nyanyian lagu-lagu kebangsaan. Anehnya, narasi yang dibawa oleh pihak yang kecewa ini menyebut Pancasila sedang terancam, intoleransi bangkit, dan munculnya Islam politik. Pihak yang kecewa ini beranggapan vonis terhadap Ahok adalah matinya Bhinneka Tunggal Ika.

Di satu sisi, pemerintah juga telah mengumumkan akan membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melalui pengadilan. Hal ini dikarenakan HTI dianggap bertentangan tentang Pancasila karena terus menarasikan sistem khilafah sebagai solusi atas segala krisis yang ada di Indonesia.

Dari dua kasus di atas dapat dilihat bahwa kohesivitas kita dalam berbangsa dan bernegara sudah mulai longgar. Ada kesan masyarakat telah terpecah belah ada yang pro-Pancasila dan anti-Pancasila. Di dalam tulisan ini, perkenankanlah saya untuk berpendapat bagaimana seharusnya kita melihat dan memaknai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sekapur sirih

Pancasila lahir dari pandangan Soekarno di dalam sidang BPUPKI. Pancasila adalah suatu jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan oleh Ketua BPUPKI, yaitu Dr Radjiman Wedyodiningrat kepada peserta BPUPK yang kurang lebih pertanyaannya “Kita mendirikan negara berdasarkan apa?”. Beberapa peserta sidang menjawab seperti Soepomo, Muhammad Yamin, dan lain-lain.

Namun, tidak ada jawaban yang memuaskan peserta sidang sampai Soekarno akhirnya berdiri dan menjawab pertanyaan Dr Radjiman Wedyodiningrat bahwa negara yang kita bangun didasarkan pada suatu filosofi yang terdiri dari lima sila yang disebut dengan Pancasila. Gagasan Pancasila ini diterima oleh peserta sidang.

Walaupun isi dari Pancasila tersebut mengalami perubahan melalui proses debat dan dialog namun akhirnya mencapai kata mufakat dan dijadikan sebagai dasar negara sampai saat ini. Tidak bisa dimungkiri ketika proses pembahasan Pancasila tersebut suasana sidang memanas. Peserta sidang terbagi menjadi dua blok, yaitu blok nasionalis sekuler dan nasionalis Islam.

Perdebatan terjadi di butir pertama Pancasila. Blok nasionalis Islam sepakat butir pertama Pancasila adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sementara itu blok nasionalis sekuler tidak sepakat dengan hal itu. Hal ini diperkuat dengan argumen Bung Hatta beliau telah mendapatkan surat dari perwakilan Indonesia Timur bahwa perwakilan Indonesia Timur tidak sepakat dengan adanya pasal tersebut.

Apabila masih dipertahankan, mereka tidak mau bergabung dengan Republik Indonesia. Akhirnya, jalan tengah yang diambil adalah rumusan butir pertama Pancasila diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.    

Suatu dialektika

Dari penjelasan di atas dapat dilihat Pancasila tidak lahir dengan sendirinya. Ada proses kontemplasi, dialektika, dan sintesa. Pancasila adalah hasil dari kemajemukan dan sebagaimana yang diutarakan oleh Aristoteles bahwa kemajemukan adalah kekuatan. Para founding fathers kita melahirkan Pancasila dengan pikiran yang terbuka bukan dengan pikiran yang mengeksklusikan “kita” dan “bukan kita”.

Lalu bagaimana sekarang kita melihat dan memaknai Pancasila? Setidaknya di dalam tulisan ini saya mengajukan dua sikap yang harus dimiliki oleh rakyat Indonesia dalam melihat dan memaknai Pancasila. Pertama, Pancasila harus dilihat secara multiparadigmatik. Maksud dari multi paradigmatik, yaitu Pancasila harus dilihat secara holistik dan komperhensif.

Sila yang terdapat di dalam Pancasila saling terkait satu dengan yang lain yang membentuk suatu kesatuan yang integratif. Selain itu, yang terpenting dalam melihat secara multi paradigmatik yaitu menyadari bahwa prinsip kesamaan hak dan kewajiban harus tetap mengedepankan kemajemukan. Tidak ada yang superior dan inferior.

Kedua, memahami bahwa terdapat perbedaan dalam menafsirkan Pancasila sehingga jangan sampai ada pemaksaan sudut pandang dalam menghayati Pancasila dan nilai yang terdapat di dalamnya. Ruang-ruang perbedaan akan selalu ada namun dapat diminimalisasi dengan dialog bukan dengan politik eksklusi.

Membubarkan ormas atau kelompok tertentu dengan dalih Pancasila secara tidak langsung menghilangkan esensi dari Pancasila itu sendiri. Pancasila akan terdegradasi eksistensinya sebagaimana yang terjadi ketika Orde Baru. Orde Baru menggunakan Pancasila untuk mempertahankan rezim, menjadikan Pancasila sebagai “senjata ideologi” untuk menarik garis demarkasi yang jelas mana yang “Pancasilais” dan “Anti Pancasila”. Metode yang dianggap oleh rezim Orde Baru dapat mempertahankan rezim ternyata tidak, apa yang dilakukan oleh rezim Orde Baru seperti menggali liang lahat bagi rezim itu sendiri.

Di dalam tulisan ini, penulis ingin menekankan bahwa Pancasila sebagai ideologi negara merupakan suatu hasil konsensus bangsa Indonesia. Ia lahir dari suatu dialog dan dialektika yang bergizi yang penuh dengan gagasan-gagasan modern pada zamannya. Perdebatan-perdebatan yang melampaui zaman dan yang pasti, ia lahir dari kedewasaan dan kebijaksanaan bukan dari sikap cengeng dan pikiran yang tertutup.

 

*) Alumni Universitas Indonesia  

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement