REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Salamun *)
Dalam kurun waktu tiga tahun terahir, wacana tentang panjangnya jenggot menjadi simbol kebodohan, membuat heboh jagad bumi pertiwi, khususnya di dunia maya. Hal tersebut berawal dari pernyataan KH Said Agil Siraj dalam sebuah kesempatan yang lantas videonya menyebar secara viral bahwa “...jenggot mengurangi kecerdasan,... semakin panjang semakin gob**k”.
Meskipun dalam Video berdurasi enam menit dengan judul “Video Full Jenggot Menurut Said Aqil Siradj”, yang dipublikasikan pada 21 September 2015 oleh akun Mbah Rebo agak lebih komprehensif dengan menyebutkan panjangnya jenggot memindahkan kecerdasan otak kepada basyirah mata hati, sehingga orang yang berjenggot ialah orang yang arif, orang yang bijak, orang yang punya maqam... (lihat https://www.youtube.com/watch?v=be_SVX8Fayg).
Menyimak video yang merupakan dokumentasi pidato sambutan Sang Ketua Umum pada momentum Pelantikan Pengurus Lembaga-lembaga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tanggal 16 September 2015 tersebut, sejatinya sama sekali tidak bermaksud merendahkan orang yang berjenggot dengan ketentuan harus diikuti dengan akhlaq (spiritualitas) yang semestinya. Dengan demikian, juga tidak ada alasan sama sekali bagi warga Nahdliyin untuk “mencukur” atau menghilangkan jenggot pendiri NU KH Hasyim Asy’ari.
Terlepas dari soal jenggot sebagai simbol kebodohan dan semacamnya sebagaimana yang diungkapkan oleh KH Said Agil Siraj, maka sesungguhnya memelihara jenggot dan memotong (memendekkan) kumis ialah merupakan sunnah yang diajarkan oleh Baginda Rasulullah SAW. Terdapat banyak hadits yang tertuang dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim, di antaranya ialah “ Dari Ibnu Umar ra beliau berkata, Rasulullah SAW memerintahkan untuk memotong pendek kumis dan membiarkan (memelihara) jenggot”. Dengan demikian memelihara jenggot merupakan suatu sunnah yang diperintahkan oleh Baginda Rasulullah SAW, sehingga mengamalkannya adalah merupakan suatu keutamaan.
Ada langkah aman sebagai ummat Baginda Rasulullah SAW ialah jika kita tidak dan belum mampu mengamalkan apa yang diajarkan (diperintahkan) oleh Beliau, maka hendaknya kita jangan mengkritik apalagi menyelisihi Rasul Yang Agung Baginda Nabi Muhammad SAW. Lantas bagi yang sudah berketetapan hati mengamalkan sunnah Rasulullah SAW di antaranya memanjangkan (memelihara) jenggot, maka hendaknya tidak perlu risau dan atau tersinggung dengan yang diungkapkan oleh KH Said Agil Siraj, karena sejatinya ketika kita disebut sebagai bodoh atau gob**k, maka sesungguhnya kita sedang dipersandingkan dengan keberadaan Rasulullah SAW yang disebut sebagai “Ummiy” atau buta huruf (Lihat QS.7.Al-A’raf:157).
Meskipun menurut pandangan orang awam dan mayoritas manusia bahwa buta huruf menjadi indikator kebodohan, namun secara faktual manusia terbaik dimuka bumi ialah Baginda Rasulullah Nabi Muhammad SAW dan tidak pernah ada sebelum dan sesudah beliau yang lebih mulia tutur kata dan prilaku atau tindakannya.
Sebagai Nabi yang Ummiy (buta huruf) tentunya hal ini mengkonfirmasi tuduhan kaum orientalis dan atau para pembenci Islam, bahwa Islam adalah produk olah fikir Muhammad SAW. Muhammad SAW ianya adalah Nabi dan Rasul (utusan) Allah SWT dimana tidak ada yang keluar dari Beliau kecuali yang diwahyukan (QS.53. An-Najm:3-4)
Semakin bodoh secara intelektual, namun semakin cerdas secara spiritual tentu akan menjadi lebih terhormat dan mulia, daripada diberikan kecerdasan intelektual yang lebih kemudian tidak menghantarkannya kepada ketaatan terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya, maka hal tersebut menjadi indikator tidak berkahnya ilmu yang dimiliki.
Semakin pintar dan pandai serta semakin tinggi jabatan seseorang lantas semakin canggih menipu orang lain, semakin canggih korupsinya, semakin congkak dan sombong, maka hendaklah kita semua berlindung dari hal yang demikian. Untuk itu selain dianjurkan untuk berdoa agar kita diberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang halalan thayyiban dan amal yang diterima oleh Allah SWT maka hendaknya disempurnakan dengan doa “Rabbi habliy hukman wa alhiqniy bish-shalihiin” (Ibrahim berdoa: Ya Tuhanku berikanlah kepadaku ilmu (hikmah) dan masukkanlah aku kedalam golongan orang-orang yang shalih)” (QS. 26. Asy-Syu’ara:83).
Dimana hikmah/kebijaksanaan (wisdom) adalah tingkatan pengetahuan diatas ilmu (knowledge) dan kearifan, yang untuk mendapatkannya selain diberikan secara by pass oleh Allah SWT (given), maka insya Allah dapat diperoleh di antaranya dari proses perenungan dan atau berpikir secara filosofis yang menurut Sidi Gazalba (1978) yakni berpikir secara radikal, sistematik dan universal. (baca: Menyoal Radikalisme, Lampost.co, 9 Juni 2017).
Meminjam istilah Nusron Wahid bahwa yang memahami makna dari ucapan seseorang adalah orang itu sendiri--dan tentunya Allah SWT--, maka apa yang menjadi motiv dan dimaksudkan dari perkataan KH Said Agil Siraj tentang jenggot hanyalah beliau sendiri yang tahu, dan karena saya selalu berpikir positif, maka sejatinya KH Said Agil Siraj sedang menyetarakan keberadaan orang-orang beriman yang memelihara jenggot dengan Rasulullah SAW yang ummiy (buta huruf), “bodoh” secara intelektual namun sangat sempurna berada dalam maqam puncak kecerdasan spiritual, emosional dan sosial sekaligus.
Kita tidak perlu terlalu sibuk saling menghakimi pemikiran dan sikap keberagamaan dan sosial diantara kita karena yang berhak menghakimi kita ialah Allah SWT kelak di hari Ahirat (tentu bagi yang mengimaninya). Sepanjang syahadat dan kitab sucinya sama hendaklah jangan saling mencela. Terhadap yang berbeda keyakinan agama saja kita harus toleran (lihat QS.109.Al-Kafirun:6) apalagi terhadap sesama muslim. (baca: Ketika Ada Doa Nabi Tidak Dikabulkan, Republika Online, 18 Oktober 2017). Wallahu A’lam bish-shawab.
*) Mahasiswa Program Doktor UIN Raden Intan Lampung, Dosen STIT Pringsewu dan UML, Anggota Dewan Ahli PC. ISNU Tanggamus, belajar ke-Islaman dan ke-Indonesia-an di HMI.