REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi, Pembantu rektor Universitas Darussalam Gontor
Dalam tempo satu dekade lebih sejak pengeboman underground London tahun 2005 hingga bom bunuh diri 2017 di Manchester, telah terjadi delapan kejadian teror besar. Enam peristiwa dilakukan oleh Muslim dan dua lainnya didalangi oleh non-Muslim.
Selain itu, pada 2016, Philip Hammond, sekretaris menteri Luar Negeri Inggris, mencatat bahwa sekitar 1.500 warga Inggris berusaha bergabung dengan ISIS. Sejak 2012 diperkirakan sebanyak 800 orang telah berhasil masuk ke Suriah.
Jumlah di atas, jika itu benar, cukup fantastis dan mungkin mengkhawatirkan. Sebab, warga Indoneisa yang ke bergabung dengan ISIS tidak sebanyak itu. Padalah, penduduk Indonesia empat kali lipat penduduk Inggris (65,336,540 jiwa).
Perbedaan mencolok ini tampaknya menjadikan Pemerintah Inggris "iri". Sebab. Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan demokratis dengan pluralitas agama, ras, dan suku. Namun, tingkat toleransi Muslim terhadap minoritas non-Muslim sangat tinggi. Berarti, Muslim Indonesia dengan kemajemukannya tetap dapat menjaga sikap moderasi dan toleransi mereka. Mengapa tidak demikian di Inggris?
Tertarik pada kondisi Indonesia ini, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik, menggagas program public diplomacy yang bernama "Discovering British Indonesia Muslim". Suatu program pertukaran kunjungan bagi tokoh kedua negara.
Mendapat kesempatan mengikuti program ini, penulis berkunjung dan berdialog dengan tokoh-tokoh Muslim di Muslim College of London, Markfield Institute of Higher Education (MIHE), Cambridge Muslim College dan Cambridge Islamic College, Oxford Centre for Islamic Studies. Tidak lupa pula berdialog dengan tokoh-tokoh mahasiswa Muslim yang tergabug dalam FOSIS (Federation of Student Islamic Society) di Universitas Manchester, Cambridge, King College London.
Tugas saya adalah menjelaskan sikap-sikap moderat dan toleransi Muslim di Indonesia kepada para tokoh masyarakat Inggris dan juga mencari akar yang disebut radikalisme serta intoleransi.
Muslim di Inggris
Untuk mencari akar radikalisme atau sikap intoleransi kita perlu melacaknya dari keadaan demografi. Muslim di Inggris berjumlah sekitar 3,5 juta jiwa pada tahun 2016 atau 5,5 persen dari penduduk Inggris. Dari 5,5 persen Muslim, 2,3 persen di antaranya berasal dari India dan 1,9 persen berasal dari Pakistan. Sisanya dari Bangladesh dan lainnya.
Masalahnya, 5.5 persen Muslim tidak bertempat tinggal di kawasan yang sama dengan British, warga asli Inggris. Muslim di Inggris secara alami membuat komunitas sendiri. Jodie Reed dalam makalahnya berjudul Young Muslims in the UK: Education and Integration (Desember 2005) membuktikan hal itu. Sebanyak 10 persen penduduk West Midlands, North West, Yorkshire, dan Humber adalah Muslim.
Bahkan, di kawasan London, seperti Tower Hamlets, 36 persen penduduknya adalah Muslim. Sedangkan, 24 persen penduduk Newham adalah Muslim. Maka, tidak heran jika di Aston, salah satu kawasan Birmingham, misalnya, beberapa sekolah hanya memiliki murid yang beragama Islam atau berbangsa Asia. Tidak ada siswa British di sana.
Seperti mahasiwa Cambridge, Jodie, menyimpulkan bahwa perbedaan tempat tinggal ini telah mengakibatkan kurangnya frekuensi interaksi Muslim dengan British. Ini boleh jadi menyebabkan sikap eksklusif warga Muslim.
Namun, anehnya meski Muslim hidup dengan secara eksklusif, fakta dari sebuah survei menunjukkan, 82 persen Muslim bersedia hidup berdampingan dengan orang Inggris. Sedangkan, warga Inggris non-Muslim hanya 63 persen yang bersedia hidup berdampingan dengan Muslim. Warga Inggris itu berpandangan positif tentang Muslim. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya Muslim dan British sama-sama bersedia hidup berdampingan.
Problem interaksi dan integrasi ini membawa dampak tidak hanya terhadap hubungan antara Muslim dan British, tetapi juga antara Muslim dan British Muslim mualaf. Menurut Mohammad Fuad, pengurus Muslim College of London, banyak warga British Muslim mualaf yang merasa terasing karena tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat Muslim.
Artinya, sikap eksklusif yang didasarkan pada ras dapat menimbulkan rasa saling curiga, bahkan terhadap sesama Muslim sekalipun, apalagi terhadap non-Muslim. Dalam diskusi, penulis dengan mahasiswa Muslim FOSIS di Manchester dan King College London berkesimpulan bahwa sikap eksklusif seperti ini sangat mungkin menjadi penyebab ekstrem dan radikal dalam beragama.