REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono/ Wartawan Republika
Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri menangkap Siyono yang dituding sebagai panglima kelompok teroris. Penangkapan dilakukan pada 8 Maret 2016 di kediaman Siyono, di Desa Pogung, Cawas, Klaten, Jawa Tengah.
Selang sehari kemudian, Siyono dinyatakan meninggal. Berdasarkan laporan Densus 88, Siyono meninggal setelah berkelahi dengan petugas karena berupaya melawan.
Hampir dalam setiap kasus penangkapan orang yang diduga sebagai pelaku atau anggota kelompok teroris, polisi selalu menghabisi mereka. Ada saja dalih yang dijadikan alasan atau pertimbangan.
Permintaan berbagai pihak agar polisi tak menghabisi nyawa orang yang diduga sebagai anggota kelompok teroris sepertinya tak pernah digubris. Dengan mematikan orang yang diduga sebagai pelaku atau anggota kelompok teroris, maka pengusutan lebih lanjut menjadi terhenti. Untuk menguak jaringan yang ada pun akan menemukan jalan buntu dan seolah membentur tembok.
Keengganan polisi untuk membuka tabir dan jaringan terorisme ini terasa aneh. Seperti keanehan dalam setiap penangkapan anggota atau pelaku jaringan terorisme. Dalam kasus penangkapan Siyono misalnya, sama sekali tak ada surat perintah penangkapan dan penggeledahan sebelum polisi melakukan tindakan.
Kondisi Siyono saat meninggal juga menambah kejanggalan itu. Sebelumnya polisi memberitakan, bahwa Siyono tewas setelah dibenturkan oleh aparat ke badan mobil. Namun, ketika diperiksa, ternyata luka di tubuh Siyono ada di banyak tempat.
Ada memar di pipi Siyono. Matanya pun lebam. Tak hanya itu, hidungnya juga patah. Mulai kaki hingga paha bengkak dan memar. Beberapa ruas kuku kakinya hampir patah. Bahkan dari bagian belakang kepala keluar darah.
Apa mungkin luka semacam ini terjadi hanya karena dibenturkan ke badan sebuah mobil? Polisi seharusnya berpikir, bahwa masyarakat tak lagi bisa dengan mudah dikelabui begitu saja.
Tuntutan masyarakat di era sekarang ini bukan melulu alasan rasional terhadap segala tindakan yang dilakukan aparat. Itu saja tidak cukup. Masyarakat menghendaki agar aparat (termasuk polisi) bersikap terbuka dalam menangani setiap kasus. Keterbukaan sikap kepolisian di era sekarang ini sudah sulit untuk bisa ditawar lagi dalam mengungkap suatu kasus.
Mengejutkan pula pengakuan istri Siyono bernama Suratmi yang sehari-hari mengelola sekolah Taman Kanak-Kanak itu. Usai suaminya dikabarkan meninggal, ia mendapat uang dua gepok yang ditaksir nilainya mencapai Rp 200 juta. Setelah menerima uang itu di Jakarta, istri Siyono mengaku sempat diminta menandatangani berkas yang isinya tak akan menuntut kematian Siyono.
Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengakui adanya pemberian uang tersebut. Namun dengan tegas ia menolak jika hal itu disebut sebagai suap atau sogokan.
Menurut Badrodin, itu merupakan uang pembinaan. Kapolri pun tak mempersoalkan bila keluarga Siyono menolak pemberian uang tersebut.
Baru kali ini terjadi ada pemberian uang pembinaan untuk keluarga terduga teroris. Selama ini, terduga teroris yang tewas ditembak atau ditangani polisi, tak pernah terdengar (atau tak diberitakan) telah menerima santunan dari kepolisian. Masyarakat awam pun berpikir, jangan-jangan uang pembinaan itu merupakan pengganti rasa bersalah dari kepolisian atas penghilangan nyawa Siyono.
Kalau pemberian uang pembinaan itu merupakan prosedur normal yang dijalankan polisi, mestinya hal itu diumumkan kepada masyarakat luas. Walau tetap saja, adanya uang pembinaan terhadap terduga pelaku terorisme merupakan hal yang ganjil.
Keanehan dan keganjilan tak berhenti sampai di situ. Keluarga Siyono lalu mendapat bantuan hukum dari organisasi massa Muhammadiyah. Untuk mengungkap kasus ini, keluarga Siyono dan pengacaranya meminta agar ada autopsi, sehingga jelaslah penyebab kematian Siyono.
Anehnya, kemauan untuk melakukan autopsi dari pihak keluarga Siyono ini mendapat halangan dari warga Desa Pogung, tempat Siyono dan keluarganya tinggal. Mereka menolak rencana autopsi itu. Melalui kepala Desa Pogung, Djoko Widoyo, sebagian warga setempat tak mengizinkan jenazah Siyono dimakamkan di desa itu bila dilakukan autopsi.
Tak habis pikir saya mengikuti pola pikir warga Pogung dan --terutama-- kepala desa itu. Apa dasarnya sampai dia menolak kehendak keluarga Siyono untuk melakukan autopsi? Autopsi atau tidak itu sepenuhnya wewenang keluarga korban. Sama sekali tak boleh ada yang menghalangi kemauan keluarga korban untuk melakukan autopsi.
Hampir bisa ditebak, penolakan atas rencana autopsi jenazah Siyono itu tak berdiri sendiri. Sangat boleh jadi, ada pihak lain yang memanaskan suasana untuk memengaruhi sikap sebagian warga desa tersebut. Selama ini, belum pernah ada penolakan dari pihak lain atas kemauan seseorang untuk melakukan autopsi jenazah kerabatnya. Lalu apa hak warga untuk menolak hal itu?
Aparat yang terkait harus bersikap dalam kasus ini. Justru warga (terutama kepala desa) yang harus diberi pengertian. Upaya melakukan autopsi merupakan hak keluarga korban. Tak boleh ada pihak lain yang menghalangi. Apalagi, upaya menghalangi itu dilakukan secara terbuka.
Sikap menolak autopsi yang dilakukan sekelompok warga itu justru bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan. Menghalangi upaya orang lain mencari keadilan bisa masuk kategori sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dengan sendirinya, sikap yang melanggar HAM itu harus dihentikan.
Bukan pengacara yang ada di belakang keluarga Siyono yang menghentikan sikap sebagian warga desa untuk menghalangi autopsi itu. Justru aparat kepolisian dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang memestinya menyadarkan warga yang salah dalam bersikap. Sebaliknya, mereka juga harus menjaga dan melindungi hak asasi setiap warga untuk menuntut keadilan.
Kita tentu berharap, pengungkapan kasus kematian Siyono --juga kasus lain yang mungkin terjadi-- bisa berjalan wajar tanpa rekayasa. Masyarakat pun tentu menginginkan, bahwa hasil-hasil pembangunan di negara kita bisa memberikan rasa aman dan menjauhkan diri dari rasa takut.