Oleh: Arif Supriyono
Wartawan Republika
Sudah lama saya memendam keheranan ini. Media sosial yang selama ini menjadi pilihan banyak pihak untuk melakukan komunikasi dengan teman atau koleganya, ternyata banyak digunakan untuk hal-hal yang menyimpang dari etika pergaulan.
Belakangan ini, kian banyak pemilik akun di media sosial itu yang menampilkan gambar atau foto yang sangat porno. Padahal, data terakhir menyebutkan media sosial itu paling banyak dipakai di Indonesia.
Dari sekitar 79 juta pengguna media sosial di Indonesia, sekitar 65 juta di antaranya memilih facebook sebagai sarana berkomunikasi. Berikutnya barulah twitter yang memiliki sekitar 14 juta pengguna.
Ya saya memang sedang membahas facebook. Media sosial yang awal mulanya berkembang di Amerika Serikat dan ditemukan oleh Mark Zuckerberg pada tahun 2006.
Facebook kini memang tumbuh paling pesat dibanding media sosial lainnya. Saat ini, dari sekitar 2,38 milliar pengguna media sosial di dunia, sebanyak 1,6 miliar memilih jejaring sosial facebook sebagai alat untuk saling menyapa dan berbagi informasi di dunia maya.
Anak-anak muda di Indonesia juga paling menggemari facebook. Sekitar 44 persen pengguna facebook berada di rentang usia 20-29 tahun. Adapun anak Indonesia berusia 13-19 tahun yang menggunakan facebook tak kurang dari 32 persen.
Besarnya animo masyarakat untuk menggunakan facebook juga perlu mendapat perhatian pemerintah sebagai pihak regulator. Jangan sampai sarana yang sudah memasyarakat ini menjadi alat untuk menyebar virus tak sehat bagi pengembangan budaya dan etika warga kita.
Akhir-akhir ini, saya dan beberapa teman merasa terganggu barkaitan dengan facebook. Beberapa bulan lalu, banyak teman yang mengeluh, saat mereka menulis status atau menyebarkan berita yang menolak perilaku menyimpang berupa lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), tak berapa lama status atau informasi itu menghilang (diberangus) dari dinding facebook-nya.
Bukan hanya satu-dua teman yang mengalami hal seperti ini. Namun, ada beberapa orang lain yang juga mengeluhkan hal yang sama.
Dalam alam demokrasi, mestinya pemberangusan seperti itu tak boleh terjadi. Nyatanya, yang terjadi seperti itu. Pendapat yang menolak LGBT di status facebook, akan hilang dari peredaran. Pemerintah Indonesia pun tak kuasa atau tak bisa bersikap sama sekali soal ini.
Selain soal LGBT yang diskriminatif, sekarang juga makin banyak gambar tak senonoh yang menghiasi dinding facebook. Bukan sekadar gambar yang melebihi batas kesopanan. Justru sering kali muncul gambar sangat jorok. Tidak laki-laki atau perempuan, terkadang muncul gambar orang yang tak berbusana sama sekali.
Tak jarang pula gambar itu memperlihatkan bagian tubuh paling vital dari seorang manusia. Orang yang normal akan dijamin risih dan jijik melihat hal itu secara terbuka. Memang hanya mereka yang berteman di facebook saja yang bisa melihat hal itu. Akan tetapi sesuai karakter pertemanan di facebook, sifatnya sangat massal sehingga jika nama kita disebut (tag) oleh pengirim foto vulgar tadi, orang lain yang berteman dengan kita pun bisa melihat, meski orang lain itu tidak berteman dengan pengirim foto jorok tersebut.
Bukan tidak mungkin pula anak-anak remaja yang menjadi teman kita sempat dan ikut menikmati gambar tak senonoh tadi. Kalau anak remaja sudah terbiasa melihat tayangan atau gambar asusila seperti itu, tentu akan sangat berisiko dan sangat tidak mendidik.
Tak hanya itu saja, tiba-tiba pemilik akun bisa saja dimasukkan grup oleh orang-orang yang usil. Tanpa perlu persetujuan dari pemilik akun, hal ini bisa dan sudah sering terjadi. Kalau isinya berupa informasi yang bermanfaat mungkin tidak menjadi persoalan. Ini justru acap kali informasi yang disampaikan berupa hal-hal yang bersifat jorok dan porno.
Begitu menyadari, kita memang bisa segera keluar dari grup tersebut. Namun, sudah pasti kenyamanan kita sebagai pemilik akun facebook akan sangat terganggu. Ini bisa terjadi berulang-ulang tanpa kita seketika bisa mencegahnya.
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tampaknya juga tak cukup untuk menjangkau pengirim gambar asusila itu di facebook. Buktinya, penyebar gambar jorok itu tetap tak terjerat hukum atau dikategorikan melakukan tindak pidana.
Lihat saja pasal 27 UU ITE berikut ini: setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Kata-kata ‘tanpa hak’ tersebut bisa ditafsirkan bermacam-macam.
Artinya, bisa jadi pemilik akun punya hak untuk mengirim gambar jorok di akunnya sendiri. Namun, itu sangat menggangu pemilik akun lain yang menjadi teman di facebook karena secara otomatis gambar itu akan lewat di dinding facebook temannya.
Di bagian penjelasan UU tersebut juga tidak mengupas pasal 27 ini. Di situ malah tertera keterangan, bahwa pasal 27 sudah cukup jelas.
Saya memimpikan ada teknologi yang secara otomatis bisa membokir tayangan-tayangan jorok, porno, dan vulgar semacam ini di negara kita. Memang rumit bila kita ingin menerapkan sistem atau model ini. Apakah yang diblokir hanya pengiriman gambar dan informasi jorok/porno/vulgar yang pemilik akunnya tinggal di Indonesia ataukah yang menggunakan bahasa Indonesia saja.
Rasanya, upaya ke arah itu perlu dilakukan. Ini kalau pemerintah serius ingin mebersihkan jejaring dunia maya kita dari serbuan virus pornografi. Syukur-syukur kalau pelakunya bisa dijerat. Facebook pun bisa langsung memberangus tayangan informasi yang menolak LGBT tanpe pemilik akunnya mengetahui.
Bila mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ketentuan yang mengatur malah lebih jelas. Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Kita tentu berharap pemerintah kian peduli dan tegas bersikap terhadap segala bentuk pelanggaran kesusilaan. Mungkin juga pemerintah perlu memasyarakatnya media sosial bermerek Indonesia yang kabarnya sudah dijalankan beberapa waktu lalu.