REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami, wartawan Republika
Alkisah, suatu hari pada Oktober 2009 silam, imam besar Universitas Al-Azhar, Muhammad Sayyid Tantawi (semoga Allah merahmatinya), mengunjungi sekolah dasar putri institusi tersebut. Di sekolah tersebut, ia berjumpa seorang murid berusia 11 tahun yang mengenakan niqab.
“Niqab hanya kebiasaan, tak ada hubungannya dengan Islam. Saya memahami agama lebih baik daripada kamu dan orang tuamu” Tantawi terekam memerintahkan pada sang murid.
Beberapa hari kemudian, peristiwa itu memicu Dewan Tinggi Al-Azhar yang dipimpin Tantawi mengeluarkan resolusi melarang penggunaan niqab di seluruh kelas dan asrama Al-Azhar mau kata itu sekolah dasar, sekolah menengah, maupun universitas.
Kementerian Pendidikan Mesir saat itu langsung mengekor langkah Al-Azhar. Pelarangan niqab diluaskan ke seluruh asrama putri di sekolah publik di negara tersebut. Selain mengutip soal tak ada kewajiban agama soal pakaian itu, menteri pendidikan Mesir saat itu, Hani Hilal, menyinggung bahaya murid putra menyamar menggunakan niqab dan menyusup ke asrama putri.
Sebagian pihak-pihak kampus yang mengikuti langkah pelarangan itu juga mengkhawatirkan sandangan itu jadi alat berbuat kecurangan saat ujian. Sejumlah pemakai niqab kemudian membawa larangan ke Mahkamah Konstitusi Mesir pada 2010 dan berhasil memenangkan gugatan.
Bagaimanapun, keputusan Syekh Tantawi saat itu menimbulkan gejolak di Mesir. Ia jadi perdebatan hangat karena dinilai punya muatan politis sehubungan asumsi kedekatan sang Imam Besar dengan Presiden Hosni Mubarak. Pelarangan ujung-ujungnya tersangkut kecurigaan soal upaya rezim menjaga kekuasaan dari rongrongan Ihwanul Muslimin yang bukan kebetulan memiliki banyak kader berniqab.
Pada saat bersamaan, ada percikan api di Tunisia pada Desember 2010 saat seorang pedagang kaki lima Mohammad Bouazizi membakar diri memerotes perampasan jualannya oleh aparat keamanan. Tindakannya memicu protes menuntut penggulingan kekuasaan di Tunisia yang kemudian menyebar ke regional setempat.
Bukan rahasia, Presiden Tunisia saat itu, Zine El Abidine Ben Ali dikenal sebagai diktator yang mengampanyekan sekularisme dengan tangan besi. Hijab, apalagi niqab, telah lama dilarang di kampus-kampus dan sekolahan di Tunisia bertahun-tahun sebelum revolusi dimulai. Pengenaan jilbab bahkan dilarang untuk foto guna keperluan identitas publik pada masa Ben Ali.
Yang terjadi di Tunisia kemudian menjalar ke Mesir. Gerakan rakyat tanpa komando yang jelas akhirnya berhasil menjatuhkan Hosni Mubarak pada 2011. Perempuan-perempuan berniqab nampak hadir dalam kerumumunan yang berdemonstrasi di Lapangan Tahrir kala itu.
Sementara pada Juli 2010, pemerintahan Presiden Bashar Al Assad juga mengumumkan pelarangan niqab di universitas-universitas di Suriah. Ratusan guru-guru SD yang mengenakan niqab juga dipindahkan ke jabatan administratif.
Lalu pada April 2011, Assad mencabut kebijakan itu menyusul aksi-aksi unjuk rasa prodemokrasi yang saat itu masih berlangsung damai. Ia disebut mencoba merebut hati kaum konservatif meski kemudian upaya itu tak membuahkan hasil dan Suriah kian tenggelam dalam konflik hingga saat ini.
Pada 2008, seperti dilaporkan media tempatan lahaonline.com pemerintah Libya juga sempat membiarkan Universitas Gar Younis di Benghazi melarang penggunaan niqab di kelas-kelas. Ini tak mengejutkan mengingat Muammar Gaddafi memang tak malu menunjukkan ketaksukaannya terhadap sandangan tersebut. Ia bahkan sempat terekam mengangkat cadar seorang warga perempuan yang ia temui ketika blusukan pada akhir-akhir masanya. Libya, pada pucuk Musim Semi Arab, tak luput dari sapuan penggulingan kekuasaan.
Sebagaimana dinyatakan para ulama di mancanegara maupun Tanah Air, niqab memang sedianya bukan kewajiban bagi muslimah, meski ia diketahui dikenakan istri Rasulullah SAW dan beberapa sahabat perempuan. Sebagian ulama bahkan mengaitkan kebiasaan tersebut dengan adat perempuan Yahudi di Palestina dan Zoroaster di Iran.
Meski begitu, yang paham soal sosial politik dunia Islam tentu mafhum bahwa jilbab, hijab, niqab, burqa; maupun keputusan untuk tak menyandang mereka, tak semata soal relijiusitas. Ia punya kesan politik yang sedemikian kuat di Turki, misalnya, juga Mesir dan Iran.
Di negara-negara itu, penutup kepala perempuan dipandang juga sebagai semacam politik pembebasan terutama di masa-masa tirani sekuler. Sementara sebagian pengamat menilainya sebagai penindasan saat diwajibkan di Arab Saudi (kini kewajiban berniqab telah dicabut) atau di Afghanistan saat dikuasai Taliban.
Dengan konotasi-konotasi tersebut, mudah membuat korelasi antara kejatuhan rezim sepanjang Musim Semi Arab dengan sentimen yang mendorong pelarangan niqab. Paling tidak, persepsi bahwa rezim berkuasa mengekang kebebasan beragama umat Islam yang jadi mayoritas di masing-masing negara adalah propaganda yang sangat poten guna memicu perlawanan.
Meskipun, korelasi itu bisa saja superfisial mengingat selaksa anasir juga mendorong revolusi di kawasan tersebut sewindu lalu. Bisa jadi, pelarangan niqab dan jatuhnya para tiran di Timur Tengah sewindu lalu hanya kebetulan semata. Wallahu ‘alam bisshawab.