REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri
Palestina kini hitam, putih, hijau, dan merah. Warna-warni ini adalah bendera sebuah otoritas yang pada November lalu dinaikkan statusnya oleh Sidang Umum PBB menjadi “negara pengamat nonanggota” dari yang sebelumnya hanya “badan pengamat nonanggota”. Atau, tepatnya Otoritas Nasional Palestina menjadi Negara Palestina (State of Palestina/ Daulah Filistin).
Menindaklanjuti status barunya ini, Mahmud Abbas, sang presiden, beberapa hari lalu mengeluarkan dekrit supaya semua dokumen-baik paspor, KTP, maupun SIM, dan lainnya-yang masih berstempel “Otoritas Palestina” untuk diganti dengan cap “Negara Palestina”.
Ia juga meminta Kementerian Luar Negeri dan semua kedutaan mereka di mancanegara menggunakan nama “Negara Palestina” dalam setiap korespondensi resmi. Selanjutnya, Abu Mazen-panggilan akrab Abbas-menyerukan agar rakyatnya lebih sering mengibarkan bendera resmi Palestina dalam berbagai upacara, perayaan, dan kesempatan lainnya.
Bendera itu berupa tiga garis-garis horizontal yang sama, berwarna hitam, putih, dan hijau dari atas ke bawah. Tiga warna ini kemudian dilapisi segitiga merah di pangkal/kiri. Hitam menunjukkan tanda berkabung dan kesedihan yang panjang lantaran di bawah pendudukan. Putih adalah harapan untuk bisa hidup damai suatu hari kelak.
Hijau menggambarkan tanah air yang subur. Merah menunjukkan keberanian untuk terus berjuang membebaskan tanah air dari penjajahan.
Bendera ini sebenarnya sudah digunakan secara resmi sejak Otoritas Nasional Palestina dibentuk pada 15 November 1988 . Namun, sehari-hari rakyat di Tepi Barat dan Jalur Gaza lebih sering mengibarkan bendera faksi masing-masing. Yaitu, bendera Hamas berwarna hijau dengan bertuliskan kalimat tauhid di Jalur Gaza. Lalu, bendera kuning faksi Fatah yang bertuliskan kalimat perlawanan di Tepi Barat.
Akibat penjajahan Zionis Israel, wilayah Palestina memang terbelah. Tepi Barat terpisah dengan Jalur Gaza. Di wilayah pemisah ini lalu dibangun permukiman Yahudi. Tepi Barat dikuasai faksi Fatah selaku penguasa Otoritas Palestina. Sedangkan, Jalur Gaza diperintah faksi Hamas. Kedua faksi ini terlibat sengketa sejak Hamas memenangkan pemilu pada 2006 dan berkuasa di Gaza setahun kemudian.
Sejak itu, Palestina mempunyai dua pemerintahan. Masing-masing mempunyai perdana menteri berikut menteri-menterinya. Di sinilah sebenarnya tantangan terberat setelah Palestina menjadi negara. Hampir mustahil sebuah bangsa dalam sebuah negara diatur oleh dua pemerintahan. Apalagi, negara itu sebagian besar wilayahnya masih dijajah oleh bangsa lain.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendamaikan kedua faksi. Namun, selalu gagal. Kegagalan disebabkan oleh perbedaan prinsip. Faksi Fatah berideologi sekuler. Ia juga dianggap terlalu lemah dalam menghadapi Zionis Israel. Terbukti, semua upaya permbicaraan damai dengan Israel tidak membuahkan hasil bagi perjuangan bangsa Palestina.
Sedangkan, faksi Hamas menganggap mereka lebih Islami. Zionis Israel harus dilawan dengan perjuangan bersenjata. Beberapa kali mereka pun berhasil memukul mundur militer Israel yang mencoba menginvasi wilayah mereka di Jalur Gaza. Namun, perkembangan beberapa pekan terakhir tampaknya telah membawa angin segar bagi persatuan bangsa Palestina.
Yaitu, kemenangan secara politik yang dialami Fatah di Sidang Umum PBB dan kemenangan Hamas secara militer untuk menghentikan invasi militer Israel di Gaza.
Dua kemenangan yang kemudian dirayakan seluruh bangsa Palestina dengan turun ke jalan-jalan utama, baik di Tepi Barat maupun di Jalur Gaza. Ratusan ribu orang mengibarkan bendera kuning dan hijau secara bersamaan, di samping bendera nasional Palestina. Perayaan (mahrajan) yang sama kemudian juga mereka lakukan ketika memperingati hari jadi Fatah dan Hamas.
Fakta ini tampaknya telah dibaca pimpinan kedua faksi bahwa faksi masing-masing didukung rakyat Palestina di dua wilayah. Kedua faksi tersebut tidak mungkin berkuasa sendirian dan mengabaikan, apalagi meniadakan faksi lain. Hal ini juga sekaligus memberi pelajaran bahwa perjuangan melawan penjajah Zionis Israel tidak mungkin dilakukan sendiri-sendiri seperti selama ini.
Karena itu, tidak ada cara lain, kecuali mereka harus bersatu. Namun, ego dan perasaan benar faksi masing-masing yang telah lama tertanam tampaknya menyulitkan mereka untuk memulai pembicaraan. Mereka membutuhkan pihak ketiga atau bahkan lebih sebagai perantara dan penengah, termasuk sebagai fasilitator (baca: penyandang dana). Hal inilah yang segera ditangkap oleh Doha dan Kairo.
Apalagi, Presiden Mesir Muhammad Mursi berasal dari Partai Kebebasan dan Keadilan yang merupakan sayap politik Ikhwanul Muslimin. Secara ideologi antara Ikhwanul Muslimin dan Hamas adalah sama, yakni Islam. Bahkan, ada yang mengatakan, Hamas sebenarnya hanyalah perpanjangan tangan dari Ikhwanul Muslimin di Gaza.
Fakta inilah yang telah mempermudah peran Mursi untuk mewujudkan gencatan senjata antara Israel dan Hamas pada November 2012. Keberhasilan yang ingin dicoba ulang Mursi dengan dukungan penguasa Qatar untuk mempertemukan Presiden Mahmud Abbas (Fatah) dan pemimpin politik Hamas, Khaled Meshaal, di Kairo pekan lalu.
Perundingan rekonsiliasi Fatah-Hamas yang dipimpin Mursi pada Rabu lalu belum diketahui hasilnya. Hanya saja mereka menyatakan bertekad untuk sering bertemu hingga perdamaian dua faksi bisa terwujud. Sebuah upaya yang harus didukung oleh semua pihak, termasuk dukungan dari pemerintah dan rakyat Indonesia. Kita tentu berharap bendara hitam, putih, hijau, dan merah lebih berkibar di tanah Palestina daripada kuning Fatah dan hijau Hamas.