Jumat 15 Feb 2013 06:43 WIB
Resonansi

Keharusan Politik Asketis Partai Islam

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Margiono, ketua umum PWI Pusat berseloroh, semua partai sekarang berlomba mengirimkan wakilnya. Tak

hanya ke parlemen, tapi juga ke penjara. Suasana Hari Pers Nasional di Manado, Sulawesi Utara, pun menjadi pecah oleh tawa kecil. Saat ini, partai-partai dan para politisinya, tak mau kalah dengan pejabat pemerintah dan birokrat: menjadi korup. Karena itu ada ujar-ujar terhadap situasi ini. Sebaik apapun kita, jika masuk parlemen pasti akan berubah. Tak hanya korup, tapi juga gemar pada kemewahan dan perselingkuhan. Tentu tak semuanya begitu, namun arus utamanya memang demikian.

Dalam situasi itu, kita bertanya, bagaimana dengan politisi-politisi dari partai-partai Islam? Kasus

impor daging sapi oleh PKS seolah menegaskan bahwa mereka telah menjadi politisi pada umumnya. Celakanya, publik menghukum dengan kejam terhadap partai Islam. Label Islam menuntut ekspektasi yang

berbeda terhadap partai yang tak membawa label seperti itu. Atribut keagamaan menuntut para penyandangnya untuk berperilaku saleh: jujur, sahaja, ramah, amanah. Sedangkan terhadap politisi dari partai non-agama, publik tak menuntut tinggi terhadap praktik kesalehan semacam itu. Ada permakluman.

Angka-angka hasil pemilu memperlihatkan makin anjloknya perolehan partai-partai Islam. Pada pemilu 1955, partai-partai Islam secara total meraih 43,7 persen. Pada 1999 menjadi 36,8 persen, 2004 naik lagi menjadi 38,1 persen, dan pada 2009 anjlok menjadi 23,1 persen. Pada survei Lingkaran Survei Indonesia Network pada Oktober 2012 perolehan partai Islam turun lagi menjadi 21,1 persen. Sedangkan survei Saiful Mujani Research and Consulting pada Desember 2012 menunjukkan partai Islam menyisakan dukungan 13,9 persen. Jika kecenderungan ini terus berlangsung hingga pemilu 2014, maka partai Islam berada pada situasi kritis.

Kita sering mendengar cerita tentang kesahajaan politisi partai Islam di masa lalu, dari Masyumi maupun

NU. Itu sudah menjadi merek tersendiri. Gaya borjuis justru diperlihatkan politisi dari PSI, bahkan PNI. Tentu pada kondisi saat itu. Politisi dari partai nonagama ini gemar pesta dan pakaian bagus.

Namun kini, perilaku para politisi relatif seragam, termasuk politisi partai-partai Islam. Jarinya bercincin emas bertahta berlian. Pergelangan tangannya berhias Rolex, yang harganya bisa Rp 750 juta.

Namun ada juga yang memakai Richar Mille, yang harganya antara Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar. Ada juga yang memakai Patek Philippe, Frank Muller, atau IWC. Tas pun tak kalah mentereng, seperti Louis Vuitton, Hermes, Testoni. Jas pun harus yang bermerek, misalnya Brioni, Hermes, Ermenegildo, atau Zegna. Harganya ada yang 43 ribu dolar AS. Sedangkan sepatu mereka Louis Vuitton, Hermes, Testoni.

Tentu tak ada yang murah, harganya bisa 2-3 ribu dolar AS.

Yang gampang dilihat memang mobilnya, walaupun harganya bisa kalah dengan benda-benda yang melekat di tubuh tersebut. Mereka bisa gonta-ganti mobil: Alphard, BMW, Jaguar, Mercy. Rajin golf dan wara-wiri keluar negeri. Rumahnya di mana-mana. Istrinya pun tak hanya 1-2, tapi 3-4. Atau simpanan dan selingkuhannya di beberapa kota, dengan segala propertinya.

Sekali seorang anggota DPR yang tajir berjalan, yang melekat di tubuhnya saja minimal bernilai Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar. Bagi yang menengah bisa Rp 100 juta sampai Rp 200 juta. Namun tentu masih banyak yang bernilai Rp 10 juta. Yang paling tajir memang umumnya dari partai nonagama, walaupun ada 1-2 dari partai Islam.

Itulah kemewahan hidup anggota DPR, termasuk dari partai Islam. Berubahnya perilaku politisi partai Islam dibandingkan dengan pendahulunya tentu sesuatu yang patut disesali. Bisa jadi awalnya mereka melihat kegagalan politisi partai Islam di masa lalu karena tak bisa mengakumulasi kapital. Akibatnya umat Islam tetap bergelimang dalam kemiskinan, tertinggal dalam pendidikan, dan tak menguasai dunia bisnis dan profesi. Dari situ kemudian mereka tak bisa memenangkan pertarungan politik. Untuk membangun partai yang besar butuh dana besar. Untuk membangun kantor, membuat seragam dan bendera partai, menggaji pegawai, memobilisasi massa, beriklan di media massa, maupun berbagai kegiatan lainnya. Intinya, untuk membangun dukungan publik yang luas membutuhkan dana yang besar.

Untuk lolos ke parlemen butuh sekian miliar, untuk menjadi bupati sekian miliar, untuk menjadi gubernur sekian ratus miliar, untuk menjadi presiden butuh sekian triliun. Lalu dari mana dana sebesar

itu?

Bagi partai-partai Islam tak bisa berharap dari donasi pengusaha. Ini karena penguasa ekonomi nasional adalah nonmuslim. Menggalang dana masyarakat juga tak mungkin. Ini karena orang miskin mayoritas adalah umat Islam. Kenyataan ini seolah jalan buntu. Satu-satunya cara untuk menghimpun uang adalah dengan korupsi ataupun kongkalikong. Seolah uang akan menyelesaikan segalanya.

Betul, berpolitik butuh uang. Tapi salah besar jika menyimpulkan bahwa dukungan publik yang luas hanya

bisa diraih dengan uang. Partai-partai Islam sebetulnya lebih jelas basis sosialnya jika dibandingkan dengan partai-partai nonagama. Hanya PDIP yang memiliki basis sosial yang jelas. Selebihnya tak

memiliki captive market, termasuk Golkar dan Demokrat. Apalagi Gerindra dan Nasdem. Namun modal sosial partai-partai Islam itu tak dikonsolidasi dengan baik, bahkan sebagian diabaikan. Walau tak sekuat PKS, pada hakikatnya PPP, PAN, dan PKB masih bisa disebut partai kader.

Dengan landasan agama, mereka bisa bekerja dengan motivasi yang lebih baik. Dayagunakan kader-kader

massa sosial keagamaan tersebut. Kuatkan hubungan dengan ulama dan ormas induknya seperti NU dan Muhammadiyah. Lalu bekerjalah sebagai manusia yang bermanfaat bagi semua golongan. Berikan semangat  pelayanan, juga tunjukkan keteladanan moral dan kesalehan sosial. Bukan memperkaya diri dan keluarganya.

Bukan pamer kekayaan dan kemewahan. Keberhasilan AK Parti-nya Erdogan di Turki adalah

kombinasi militansi kader dan semangat kesalehan sosial semacam itu. Menteri-menteri kabinet Erdogan tak semuanya dari AK Parti. Para pemilihnya pun banyak yang secara diametral justru secara ideologis

berlawanan dengan AK Parti. Namun kinerja partai yang pro kemakmuran bersama, bersih dari korupsi, dan politisinya yang saleh membuat mereka didukung penuh oleh rakyat Turki.

Tak ada yang salah untuk menjadi kaya, namun korupsi dan berlebih-lebihan dalam gaya hidup tentu harus

dikutuk. Karena itu, politik asketis merupakan suatu keharusan bagi partai-partai Islam. Publik menuntut kesejajaran antara perilaku dengan label Islam. Jika tak mampu, tanggalkan atribut keagamaan dari partai.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement