Jumat 22 Aug 2014 17:06 WIB

Belajar Beroposisi

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Berpolitik itu bukan cuma berkuasa, tapi juga beroposisi. Keduanya sama pentingnya dan sama terhormatnya. Berkuasa berarti menjadi pelaksana kekuasaan, beroposisi berarti memberi alternatif pilihan.

Sistem kekuasaan tanpa oposisi adalah fasisme dan otoritarianisme. Karena itu, kehadir - an oposisi yang efektif dalam sistem kekuasaan adalah kebutuhan dan keharusan. Tanpa oposisi tak ada demokrasi yang sehat. Demokrasi menjadi layu dan lumpuh. Publik tak memiliki pilihan, dan penguasa tak terkontrol.

Kemarin, Mahkamah Konstitusi (MK) telah me mutuskan siapa pemenang sejati pada Pe milihan Presiden pada 9 Juli lalu. Sebelum itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah memutus kan Jokowi- Kalla menjadi pemenangnya.

Namun, Prabowo-Hatta mengajukan gugatan ke MK, sebuah pilihan yang konstitusional. Hanya saja, proses konstitusional itu menjadi diragukan kesejatian keikhlasannya. Setidaknya bisa dibaca dari dua hal ini.

Pertama, gugatan itu disertai dengan aksi massa. Ke dua, gugatan ke MK itu hanya satu jalan saja. Karena sesungguhnya ada delapan langkah yang disiapkan untuk mengadang kemenangan Jokowi-Kalla.

Menilai keikhlasan atau kelegawaan seseorang tentu sulit. Yang bisa kita nilai hanyalah fakta bahwa kita masih tahap belajar untuk menerapkan demokrasi yang sehat. Penyelenggara, pengawas, peserta, dan alat-alat negara harus bekerja lebih baik lagi dalam pelaksanaan pemi lihan umum legislatif maupun pemilihan presiden yang baik dan benar. Masih terlalu banyak kelemahan dan juga kecurangan. Yang menang dan yang kalah sama saja berpotensi dan berpeluang untuk melakukan kecurangan.

Jika kita berpikir positif saja tentu kita bisa mengabaikan soal motif Prabowo dalam membuat delapan langkah tersebut. Kita bisa memaknai bahwa hal itu dilakukan semata-mata untuk membangun sikap oposisional sejak dini.Jika demikian, hal itu justru patut kita hargai. Walaupun ada catatan soal kepatutan.

Dalam masyarakat yang sudah lama menerapkan sistem dan budaya demokrasi, pemerintahan yang baru diberi kesempatan selama 100 hari untuk bekerja tanpa gangguan. Karena itu, pemerintahan yang baru juga memiliki program 100 hari. Waktu yang pendek memang. Tapi, justru di situ letak ujiannya: dalam waktu singkat bisa memberikan keyakinan pada publik tentang program dan kinerjanya. Setelah itu, publik mulai mengkritisi atau terus mendukung, demikian pula dengan pihak oposisi.

Akibat sikap oposisional Prabowo bersama Koalisi Merah Putih digencarkan sejak dini, pihak Jokowi-Kalla bersama partai-partai pendukungnya pun membuat langkah cepat pula. Mereka membentuk Tim Transisi. Pada sisi lain, mereka juga menyiapkan kabinet kerja. Walau dari partai, para calon menteri itu harus profesional di bidangnya. Mereka ingin langsung tancap gas. Bahasa simpelnya, tak ada fase bulan madu. Mereka ingin seperti bunyi iklan produk aki: start langsung gas.

Pada sisi lain, sikap oposisional sejak dini yang digencarkan Prabowo juga membuat peluang untuk menarik sebagian partai pendukungnya ke kabinet Jokowi relatif terganggu. Ada upaya membangun soliditas. Mereka mencanangkan koalisi permanen. Mereka sudah membuktikan dengan disahkannya undang- undang yang mengatur pemilihan pimpinan DPR.

Sedari awal Jokowi dan PDIP mencanangkan koalisi ram ping. Jumlah perolehan kursi di parlemen koalisi pengusung Jokowi-Kalla memang kurang dari 50 persen. Mereka tak khawatir. Jokowi juga sudah membuktikan diri sebagai gubernur DKI Jakarta yang hanya didukung mi noritas suara di parlemen. Kini kita tunggu kelanjutan pengelompokan politik ini.

Saat ini ada satu pelajaran penting yang sedang ditimbang dengan kuat oleh partai-partai pengusung Prabowo-Hatta. Sikap oposisional yang konsisten selama 10 tahun yang dilakukan PDIP telah menuai hasilnya. Mereka menang pe milu legislatif dan memenangkan pemilihan presiden. Publik mencatat sikap konsisten PDIP ter sebut dan mewujudkannya di bilik suara. Pelajaran moral inilah yang kini sedang merasuki pikiran alite-elite partai pengusung Prabowo-Hatta.

Jika mereka konsisten untuk tak mudah menjadi kutu loncat, maka mereka akan menjadi oposisi. Hal itu juga makin menunjukkan kematangan dalam berpolitik. Tentu, pihak Jokowi- Kalla memiliki kebutuhan untuk menarik satu-dua partai ke dalam koalisinya. Terutama untuk memuluskan proses politik di parlemen.

Kita sangat membutuhkan pemerintah yang kuat dan efektif, sebagaimana kita juga sangat membutuhkan oposisi yang kuat dan efektif. Hal itu akan menciptakan keseimbangan yang sehat. Mereka akan saling mengontrol dan saling mengingatkan. Ujungnya adalah hadirnya kesejahteraan rakyat dan tegaknya keadilan sosial.

Selamat untuk Jokowi-Kalla, terima kasih untuk Prabowo-Hatta. Saatnya move on.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement